Forum Majelis Rasulullah
endangs SYARI^AT ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR – 2009/01/24
20:31 Assalamu alaikum Wr. Wb.
Kelembutan & Kasih saying-NYA semoga menaungi Segala Aktifitas
Habibana dan Sekeluarga dengan penuh kedamaian.
Sehubungan dengan email yang telah saya dapati perihal tentang
sebuah hadits yang amalannya sangat populer dikalangan masyarakat
kita. Yang pada akhirnya salah satu Majalah/ golongan tersebut
melahirkan pemahamannya dan kesimpulannya bahwa :
1. Hadist tentang Syarat Adzan pada telinga bayi yang baru lahir
merupakan Hadist yang Mengutarakan Riwayat Derajat Kedho ifan.
2. Jelas bahwa Perkara / Syari at / amalan tersebut adalah
termasuk dalam Katagori Ibadah Bid ah.
Oleh karena itu, mohon bantuan Habibana untuk bisa memaparkan dan
menanggapi perihal pernyataan daripada pemahaman tersebut.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Salam Hangat,
Alfaqir
Berikut secara detail saya lampirkan 2 kutipan e-mail asli dari
Majalah / Golongan tersebut :
________________________________________
(KUTIPAN 1)
Hadits Adzan dan Iqomah Bagi Bayi Yang Baru Lahir (Hadits Lemah)
19 Juli 2007 AlMaidani
MediaMuslim.Info
Pada kesempatan kali ini, kita akan mencoba meluruskan pemahaman
mengenai sebuah hadits yang amalannya sangat populer dikalangan
masyarakat kita. Berikut arti dari Hadits Adzan di telinga kanan
si bayi dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu kelak tidak
akan diganggu jin: Barang siapa dianugrahi anak kemudian ia adzan
di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu
kelak tidak akan diganggu jin
Hadits ini maudhu.
Ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab Amalul Yaumi wal-lailati
halaman 200, dan juga Ibnu Asakir II/182, dengan sanad dari Ibu Ya
`la bin Ala ar-Razi, dari Marwan bin salim, dari talhah bin
Ubaidillah al-Uqali, dari Husain bin Ali.
Sanad Tersebut Maudhu` sebab Yahya bin Ala dan Marwan bin Salim
deikenal sebagai pemalsu Hadits. Disamping itu, dalam periwayatan
hadits diatas ada semacam unsur meremehkan atau mengagampangkan
masalah. Hal itu diutarakan oleh al-Haitsami dalam kitab Majma az
Zawa`id IV/59, Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya la dan
dalam sanadnya terdapat Marwan bin Sulaiman al-Ghifari, yang oleh
muhadditsin riwayatnya ditinggalkan atau tidak diterima.
Almanawi pensyarah kitab al-jami`ush shaghir berkata: Hadits ini
dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ali alBajali ar-Razi. Adz
Dzahabi dalam kitab adh Dhuafa` wal-Matrukin berkata: Ia pendusta
dan pemalsu Itulah yang dinyatakan oleh Imam Ahmad.
Menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani, kepalsuan diatas tidak
banyak diketahui ulama. Buktinya banyak ulama kondang yang
mengutarakan hadits diatas tanpa menyebutkan kemaudhu`an da kedha
`fannya. Hal ini terutama dilakukan oleh ulama penulis atau
pembuat kitab kitab wirid atau kitab kitan fadha`il. Misalnya,
Imam Nawawi mengungkapkan hadits tersebut dengan perawi Ibnu
Sunni. Namun tanpa memberi isyarat atau komentar kedha`ifan dan
kemaudhu`an nya.
Begitu pula dengan pensyaratan yakni Ibnu Ala. Ia pun tidak
menyinggung tentang sanadnya sama sekali. Setelah itu datanglah
ulama generasi berikutnya yakni Ibnu Taimiyah yang dapat dilihat
dalam kitab al-Kalimuth Thayyib yang diikuti oleh muridnya Ibnu
Qayyim yang diutarakan dalam kitab al Wabilush Shayyib. Namun
keduanya menyinggung seraya berkata bahwa dalam sanadnya terdapat
kedha`ifan.
Setelah keduanya, datanglah generasi ulama berikutnya atau bahkan
semasa dengan keduanya, tetapi tidak menginggung atau bahkan diam
seribu basa dalam mengontari sanad hadits tersebut.
Pada prinsipnya, sekalipun keduanya (Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim) telah terbebas dari aib mendiamkan hadits atau riwayat dha
`if, namun tetap tidak bebas dari pengungkapan kedha`ifan suatu
hadits. Maksudnya, apabila mengetahui kedha`ifan hadits tadi
mengapa mereka masih mengutarakannya? Itu berarti hanya merupakan
pernyataan kedha`ifan hadits tersebut dan bukannya menunjukan
kemaudhu`an nya. Apabila tidak demikian maka sudah sepantasnya
kedua imam yang agung itu tidak mengutarakan hadits tersebut
diatas. Inilah yang pasti akan di pahami oleh orang orang yang
meneliti dan mau menelaah kitab atau karya tulis kedua imam tadi.
Yang membuat Muhammad Nasiruddin Al-Albani khawatir ialah para
ulama generasi sesudah beliau menjadi terkecoh hingga dengan
lantang berkata: Tidak apa-apa karena hadits dha`if pun dapat
dipakai untuk mengamalkan fadha`ilu-a`mal (amalan amalan yang
mulia). Yang terjadi kemudian bahkan hadits itu dijadikan penguat
hadits dha`if lainnya dengan meremehkan syarat mutlak yang harus
ada yaitu hendaknya hadits tersebut tidak terlalu dha`if
derajatnya. Sebagai bukti ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi dengan sanad dha`if dari Abi Rafi` yang berkata: Aku
telah melihat Rasululloh ShallAllohu alaihi wa Sallam
mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bil Ali ketika dilahirkan
oleh Fatimah binti Muhammad.
Imam Tirmidzi berkata Hadits ini shahih dan hendaknya di amalkan
dengan dasar hadits tersebut. kemudian pensyarahnya yakni al-Mubar
Kafuri setelah menjelaskan kedha`ifan sanad nya dengan dasar
pernyataan para ulama, berkata: Apabila ditanya; bagaimana mungkin
dapat diamalkan sedangkan hadits itu dha`if, maka jawabannya
ialah: Memang benar hadits tersebut dha`if, akan tetapi menjadi
kuat dengabn adanya riwayat lainnya yaitu hadits dari Husain bin
Ali, yang di riwayatkan oleh Bau Ya`la al-Maushili dan Ibnu Suni
Coba kita perhatikan, Bagaimana mungkin hadits menjadi kuat atau
dapat dikuatkan dengan adanya hadits maudhu? Dari mana datangnya
kaidah tersebut? Sungguh yang demikian itu tidak ada kamusnya
dalam sejarah para muhadditsin pada masa lalu hingga hari Qiyamat
nanti. Menurut Muhammad Nasiruddin Al-Albani, yang demikian ini
dapat terjadi tidak lain karena tidak mengenal kemaudhu`an hadits
Husain bin Ali diatas dan juga karena terkecoh oleh komentar atas
termuatnya riwayat tersebut dalam karya tulis ulama terkenal atau
ulama yang dianggap menjadi panutan.
Memang benar untuk menguatkan hadits Abi rafi yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi itu adalah: adanya riwayat atau hadits atau
hadits Ibnu Abbas yaitu: Sesungguhnya Rasululloh ShallAllohu
alaihi wa Sallam telah mengumandangkan adzan pada telinga Hasan
bin Ali ketika lahir dan mengumandangkan iqamah pada telinga
kirinya. (Hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Baihaqi dalam
kitab Syi`b Iman berbarengan dengan hadits Hasan bin Ali)
Kemudian Baihaqi berkata: Kedua hadits tersebut dalam sanadnya
terdapat kedha`ifan . Pernyataan baihaqi tersebut telah diutarakan
oleh Ibnu Qayyim dalam kitab at-Tuhfah halaman 16.
Namun tampaknya sanad hadits ini lebih baik ketimbang sanad hadits
Hasan bin ali yang dapat dijadikan kesaksian atau penguat bagi
hadits Rafi tadi. Bila demikian masalahnya, maka riwayat inilah
sebagai penguat adanya adzan pada telinga sang bayi saat
dilahirkan seperti tercantum dalam hadits Rafi riwayat Imam
Tirmidzi tadi. Adapun mengenai mengumandangkan iqomah pada telinga
kiri adalah riwayat gharib (asing).
Namun kita kembali lagi pada pernyataan Imam Baihaqi bahwa Kedua
hadits tersebut dalam sanadnya terdapat kedha`ifan . Dan Bagaimana
mungkin hadits menjadi kuat atau dapat dikuatkan dengan adanya
hadits maudhu? yang menurut Muhammad Nasiruddin Al-Albani, yang
demikian ini dapat terjadi tidak lain karena tidak mengenal
kemaudhu`an hadits tersebut dan juga karena terkecoh oleh komentar
atas termuatnya riwayat tersebut dalam karya tulis ulama terkenal
atau ulama yang dianggap menjadi panutan. Wallahu a`lam bish
showab
(Sumber Rujukan: Silsillah hadits2 dhoif dan maudhu, Hadits NO
321, Asy-Syaikh Nasiruddin Al Albani)
Posted in Cinta Kasih, Family, Fatwa Keluarga, Fatwa Ulama, Iman,
Islam, Kawin, Keluarga, Keluarga Muslim, Live, Love, Mawadah,
Moslem Family, Moslem Live, Muamalah, Mukmin, Muslim, Nikah, Nikah
Muda, Pernikahan, Sakinah, Situs Muslim, Walimah, Warahma, islamic
love, life, www.mediamuslim.info.
________________________________________
(KUTIPAN 2)
APAKAH DISYARIA^TKAN ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR ?
Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur^ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.
Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang
anda lihat untuk menarik perhatian pembaca yang mulia agar
mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut. Karena tidak
ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan
judul sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal
tidaklah demikian karena lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan
dalam permasalahan ini. [*]
_____________________________
[*] Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan
jalan-jalannya, dan berikut ini kami terangkan dalam pembahasan
ini, kami katakan :
Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga
bayi ini.
Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu ^alaihi wa sallam ia
berkata : “Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga
Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu
^anha melahirkannya”.
Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi
dalam Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu^ab (6/389-390), Ath-Thabrani
dalam Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du^a karya beliau (2/944), Ahmad
(6/9-391-392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim
(3/179), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata
Al-Hakim : “Shahih isnadnya dan Al-Bukhari dan Muslim tidak
mengeluarkannya”. Ad-Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim dan
berkata : “Aku katakan : Ashim Dla^if”. Berkata At-Tirmidzi :
“Hadits ini hasan shahih”.
Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah
dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.
Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan
Al-Haitsami meriwayatkannya dalam Majma^ Zawaid (4/60) dari jalan
Hammad bin Syua^ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin
Al-Husain dari Abi Rafi dengan tambahan.
“Artinya : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain”.
Rawi berkata pada akhirnya : “Dan Nabi memerintahkan mereka
berbuat demikian”.
Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu
Main. Berkata Al-Bukhari tentangnya : “Mungkarul hadits”. Dan pada
tempat lain Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya”.
Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : “Dalam sanadnya ada
Hammad bin Syua^ib dan ia lemah sekali”.
Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia
lemah, dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri
secara sanad dan matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali
bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi
Rafi dengan Ali bin Al-Husain dan ia menambahkan lafadz :
“Al-Husain” dan perintah adzan. Hammad ini termasuk orang yang
tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan.
Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tidak
sedangkan ia telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan
lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad
ini mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia
menyelisihi rawi yang tsiqah.
Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam
sanadnya ada Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam
At-Taqrib : “Ia Dla^if”, dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam
At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu^bah berkata : “Seandainya dikatakan
kepada Ashim : Siapa yang membangun masjid Bashrah niscaya ia
berkata : ^Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu ^alaihi wa
sallam bahwa sanya beliau membagunnya”.
Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : “Telah berkata Abu
Zur^ah dan Abu Hatim : ^Mungkarul Hadits^. Bekata Ad-Daruquthni :
^Ia ditinggalkan dan diabaikan^. Kemudian Daruquthni membawakan
untuknya hadits Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu ^alaihi wa
sallam adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain” (selesai nukilan
dari Al-Mizan).
Maka dengan demikian hadits ini dha^if karena perputarannya pada
Ashim dan anda telah mengetahui keadaannya.
Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi^ dalam kitabnya
Tuhfatul Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi
sebagai syahid bagi hadits Abu Rafi^. Salah satunya dari Ibnu
Abbas dan yang lain dari Al-Husain bin Ali. Beliau membuat satu
bab khusus dengan judul “Sunnahnya adzan pada telinga bayi”. Namun
kita lihat keadaan dua hadits yang menjadi syahid tersebut.
Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu^abul Iman
(6/8620) dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif
As-Sadusi ia berkata : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin
Muthib dari Manshur bin Shafih dari Abu Ma^bad dari Ibnu Abbas.
“Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu ^alaihi wa sallam adzan
pada telinga Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau
adzan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kiri”.
Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan.
Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu^ (palsu) dan cacat (ilat)
nya adalah Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentangnya Al-Hafidh
dalam At-Taqrib : “Matruk”.
Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta^dil 91/2/26) tarjumah no.
109 :^Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah
dan kami tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya
(matrukul hadits)”.
Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : “Ibnul Madini mendustakannya
dan berkata Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia
matruk.
Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits
bahwa hadits yang dla^if tidak akan naik ke derajat shahih atau
hasan kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain dengan
syarat tidak ada pada jalan yang selain itu (jalan yang akan
dijadikan pendukung bagi hadits yang lemah, -pent) rawi yang
sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta atau matruk. Bila pada
jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang sangat lemah atau
pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yang mau dikuatkan itu
tetap lemah dan tidak dapat naik ke derajat yang bisa dipakai
untuk berdalil dengannya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa
hadits Ibnu Abbas tidak pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi
maka hadits Abu Rafi tetap Dla^if, sedangkan hadits Ibnu Abbas
maudlu.
Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin
Al-Ala dari Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari
Al-Husain bin Ali ia berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu
^alaihi wa sallam.
“Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga
kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang
suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya”.
Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu^abul Iman (6/390) dan Ibnu
Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami
membawakannya dalam Majma^ Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Ya^la dan dalam sanadnya ada Marwan bin
Salim Al-Ghifari, ia matruk”.
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya^la dengan nomor
(6780).
Berkata Muhaqqiqnya : “Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala
tertuduh memalsukan hadits”. Kemudian ia berkata : ^Sebagaimana
hadits Ibnu Abbas menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul
Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul Wadud (hal.16) dan dikelurkan
oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu^ab dan dengannya menjadi kuatlah
hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan alasan ini At-Tirmidzi berkata :
^Hadits hasan shahih^, yakni shahih lighairihi. Wallahu a^lam (12/
151-152).
Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan
karena hadits Ibnu Abbas pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan
tidak pantas menjadi syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana
telah lewat penjelasannya, Wallahu a^lam.
Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya
ada Yahya bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan
hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Ad-Dlaifah (321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam
Ad-Dlaifah nomor (6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan
ilmiah yang benar. Dengan demikian hadits Abu Rafi tetap lemah
karena hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam
At-Talkhish (4/149) : “Perputaran hadist ini pada Ashim bin
Ubaidillah dan ia Dla^if.
Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih
Sunan Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258),
beliau berkata : “Hadits hasan”. Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau
menyatakan : Hadits ini Hasan Isya Allah”.
Dalam Adl-Dla^ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan
melemahkan hadits Abu Rafi^ ini : “At-Tirmidzi telah meriwayatkan
dengan sanad yang lemah dari Abu Rafi, ia berkata :
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ^alaihi wa sallam adzan dengan
adzan shalat pada telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru
dilahirkan oleh ibunya Fathimah”.
Berkata At-Timidzi : “Hadits shahih (dan diamalkan)”.
Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : “Mungkin penguatan hadits Abu
Rafi dengan adanya hadits Ibnu Abbas”. (Kemudian beliau
menyebutkannya) Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu^abul Iman.
Aku (yakni Al-Albani) katakan : “Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu
Abbas ini lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yang benar
hadits Al-Husain yakni hadits yang ketiga pada kami, -penulis)
dari sisi hadits ini pantas sebagai syahid terhadap hadits Abu
Rafi, wallahu ^alam. Maka jika demikian hadits ini sebagai syahid
untuk masalah adzan (pada telinga bayi) karena masalah ini yang
disebutkan dalam hadits Abu Rafi^, adapaun iqamah maka hal ini
gharib, wallahu a^alam.
Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : ^Aku
katakana hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari
Ibnu Abbas degan sanad yang lemah. Aku menyebutkannya seperti
syahid terhadap hadits ini ketika berbicara tentang hadits yang
akan datang setelahnya dalam Silsilah Al-Hadits Adl-Dla^ifah no
(321) dan aku berharap di sana ia dapat menjadi syahid untuk
hadits ini, wallahu a^alam.
Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah
Al-Ma^arif) (1/494) no. 321 menyatakan : “Aku katakan sekarang
bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas sebagai syahid karena pada
sanadnya ada rawi yang pendusta dan matruk. Maka Aku heran dengan
Al-Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim kenapa keduanya merasa cukup atas
pendlaifannya. Hingga hampir-hampir aku memastikan pantasnya
(hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku memandang termasuk
kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrijnya akan
disebutkan kemudian (61121)” (selesai ucapan Syaikh).
Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang
lebar untuk anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yang
telah memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani kepada kebenaran dan
memberi ilham padanya. Maka dengan demikian wajib untuk
memperingatkan para penuntut ilmu dan orang-orang yang mengamalkan
sunnah yang shahihah yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu
^alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa yang pegangan bagi
hadits Abu Rafi^ yang lemah adalah sebagaimana pada akhirnya
penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan
inilah yang ada di hadapan anda. Dan hadits ini tidaklah shahih
seperti yang sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih Sunan
Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu
a^lam.
Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali
bin Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia
juga tidak pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi
yang pendusta.
[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi
Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal
31-36 Pustaka Al-Haura]
ARSIP ARTIKEL
TAUHID
MUSLIMAH
REDAKSI
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
munzir Re:SYARI^AT ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR – 2009/01/24
21:31 Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda
dg kebahagiaan,
Saudaraku yg kumuliakan,
mengenai asal muasal permasalahan, adalah adzan dan iqamah, dan
kedua hal ini boleh saja dilakukan kapanpun dan bukan hanya
diwaktu shalat, bahkan Rasul saw menjadikan adzan sebagai sarana
untuk memanggil sahabat agar datang berkumpul jika ada pengumuman,
mengenai riwayat tsb dijelaskan oleh Imam Hakim dalam Mustadrak
ala shahihain bahwa Rasul saw mengazankan ditelinga husein ketika
dilahirkan oleh Fathimah ra. berkata Imam Hakim bahwa hadits ini
shahih dan memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim namun mereka
tak menampilkannya.
dan imam tirmidziy menjelaskan bhwa hadits ini hasan shahih.
demikian pula diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu dawud dan
menshahihkannya.
demikian pula dijelaskan oleh Al Imam Assyaukani dalam kitabnya
Naylul Awtar, bahwa hadits itu shahih.
dan dijelaskan pada arsip perpaduan ahlul hadits, bahwa hadits tsb
ada yg mendhoifkan dan ada yg menshahihkan maka hukumnya hasan,
boleh dijadikan hujjah.
apalagi jika diperkuat oleh Hujjatul Islam Al Imam Nawawi,
Hujjatul Islam Al Imam Assyaukaniy, Al Imam Tirmidziy, Al Imam
Ahmad, dll.
mengenai albani, dia bukan seorang pakar hadits, hanya menukil
nukil dari sisa hadits yg ada, ia tak mencapai derajat ALhafidh
(hafal 100.000 hadits dg sanad dan hukum matannya), ia tak pula
mencapai derajat Hujjatul Islam (hafal 300.000 hadits dg sanad dan
hukum matannya,
namun ia hanya menukil nukil dan menyambung nyambungkan sana sini
lalu berfatwa, maka fatwanya batil, dan hukum yg ia keluarkan
mardud (tertolak), dan mengikutinya adalah dhalal (sesat).
karena hadita hadits yg ada masa kini sudah sangat sedikit,
sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits berikut
sanad dan hukum matannya (rujuk Tadzkiratul Huffadh dll). namun
Imam Ahmad hanya sempat menulis sekitar 20 ribu hadits dalam
musnadnya, maka 980.000 hadits itu sirna tak sempat tertuliskan,
demikian pula imam imam lainnya.
setelah 90% hadits yg ada dimasa itu sirna, tinggallah semua
hadits yg ada masa kini tak mencapai 80 ribu hadits, maka seorang
penukil mengorek ngorek sisa sisa dari 10% hadits itu dan berkata
: hadits ini mungkar, hadits ini dusta, hadits ini palsu..!
apakah anda akan dengar fatwanya?, bagaimana jika hadits itu
justru shahih riwayat Imam Bukhari atau Imam Muslim atau imam
lainnya namun tak sempat mereka tuliskan dimasanya.
lalu si manusia satu ini mengatakan bahwa hadits itu dusta..!,
padahal Rasul saw bersabda : “Barangsiapa yg berdusta atas
ucapanku maka ia mengambil tempatnya di neraka” (shahih Bukhari)
dan Rasul saw bersabda : :”sejahat jahat dosa muslim pada muslim
lainnya pada ummat ini adalah orang yg mempermasalahkan hal yg
halal, lalu menjadi haram sebab ia mempermasalahkannya” (Shahih
Muslim)
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a^lam
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=20733