Arul Ilmu Nahwu sebagai Alat Berdebat – 2007/09/05 19:00 Ilmu Nahwu
sebagai Alat Berdebat
Islam datang ke Bali yang mayoritas Hindu itu tampil dengan penuh
toleransi dan kedamaian, sehingga masyarakat tidak terusik. Bahkan
selama masa perjuangan kedua komunitas agama yang berbeda itu bahu
membahu dalam melawan Belanda.
Tetapi sejak tahun 1934, pulau Bali dijadikan target gerakan
puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok modernis Islam. Beberapa
tokoh Islam modernis dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk
menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan
tradisi Islam yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat.
Slogan taklid buta, bid ah, khurafat dan tahayyul pun mereka
jadikan platform perjuangan.
Mereka juga tak segan-segan menuduh praktek beragama ulama dan
masyarakat Muslim Bali sebagai bentuk peribadatan yang telah
tercemari oleh perbuatan syirik. Tentu saja masyarakat Islam Bali
tidak tinggal diam dengan tuduhan tersebut. Mereka tidak terima
jika faham ahlussunnah wal jama^ah yang selama ini diwariskan oleh
para ulama mereka dituduh menyimpang, bahkan dianggap mengajarkan
ajaran yang sesat. Oleh sebab itu, beberapa kali tokoh-tokoh
modernis diusir karena dianggap meresahkan dan memancing
permusuhan di kalangan masyarakat.
Namun setelah diusir, ada saja utusan baru yang dikirimkan dan
mendekati masyarakat dengan strategi yang berbeda. Hingga suatu
ketika, salah seorang tokoh modernis yang merasa ingin membuktikan
kebenaran ajaran yang dipeluknya menantang para ulama Bali untuk
membuktikan ajaran siapa yang lebih benar melalui perdebatan bukan
dengan kekuatan massa tetapi dengan kekuatan nalar.
Mendengar berita ini, KH Sayyid Ali Bafaqih yang terkenal sangat
tegas segera tampil menerima tantangan dari tokoh modernis itu.
Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, kedua tokoh
berseberangan faham itu pun bertemu. Disaksikan oleh masyarakat
luas adu argumen pun segera dimulai. Sebagai bentuk penghormatan,
tokoh modernis pun dipersilahkan untuk terlebih dahulu membuka
pembicaraan, memaparkan ajarannya.
Setelah mengucapkan salam dan hamdalah tokoh modernis tersebut
mulai berorasi dengan suara lantang. Tapi baru saja ia berkata;
“Rasulullah bersabda: “Man kana ”
Behenti dulu Berhenti dulu!!” teriak Sayyid Ali Bafaqih memotong
pembicaraan dengan suara lebih lantang seraya mengangkat tangan
kanannya. Tentu saja, semua yang ada di tempat kejadian
terheran-heran dan berbisik mengenai tindakan Sayyid Ali tersebut.
Ketika merasa semua orang mulai tenang, Sayyid Ali Bafaqih pun
kemudian berkata: Sebelum tuan meneruskan sabda Rasulullah
tersebut saya hendak bertanya, man itu huruf apa dan dalam
gramatika Arab kedudukan sebagai apa?
Mendengar pertanyaan yang tidak pernah disangkanya, tokoh modernis
tersebut lantas terdiam. Ia mencoba untuk mengelak namun Sayyid
Ali tidak mau meneruskan perdebatan sebelum mendapatkan jawaban.
Karena sudah sangat terpojok, sang tokoh modernis pun mengaku
tidak mengetahui jawabannya. Tapi ia berjanji akan memberikan
jawaban di luar masalah huruf man .
Setelah mendengar pengakuan rivalnya itu, Sayyid Ali langsung
berkata: Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur^an dan
Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan
benar!
Akhirnya, dalam perdebatan tersebut, Sayyid Ali berhasil
memenangkan perdebatan nya tanpa harus bersusah payah. Sementara
rivalnya sendiri tertunduk malu dan meninggalkan arena tanpa daya.
(Sumber NU Online)
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=6914