Ta^ziah – 2010/04/04 17:57

0

zein_jufri Ta^ziah – 2010/04/04 17:57 Assalamu ^Alaikum wr.Wb.

Salam Rindu & Ta^dzim untuk Habibana yang kami cintai, Habib sy
ada pertanyaan :
Kalau kita sedang melayat / Ta^ziah ke rumah duka ( ada yg
meninggal ), menurut salah satu ustadz ditempat kami katanya ,
kalau di ruangan tsb masih ada mayat kemudian keluarga duka
menyuguhkan kepada pelayat air minum ala kadarnya , menurut
narasumber tsb katanya hal tsb tidah boleh / terlarang ,
bagaimakah hukumnya ? , dan bagaiamana menurut pendapat Habibana ?
.
Demikian pertanyaan kami Yaa Habibana.
Wassalam

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

munzir Re:Ta^ziah – 2010/04/05 13:14 Alaikumsalam warahmatullah
wabarakatuh,

kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari
hari anda,

Saudaraku yg kumuliakan,
hal itu diperbolehkan dan tak ada larangannya, pembahasannya
panjang lebar, berikut saya tampilkan penjelasan sejelas
sejelasnya berikut dalil2nya, saya cuplikkan dari buku saya
kenalilah akidahmu edisi 2. dalam jawaban saya adalah ketika orang
yg bertanya menampilkan dalil dalil dari imam imam kita bahwa
jamuan saat Takziyah itu tidak boleh, maka saya menjawabnya sbgbr
:

II.5. KENDURI ARWAH, TAHLILAN, YASINAN MENURUT PARA ULAMA
Hal itu merupakan pendapat orang orang yang kalap dan gerasa –
gerusu tanpa ilmu, mereka ribut sekali dengan urusan orang yang
mau bersedekah pada muslimin?

عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله
إن أمي افتلتت نفسها
ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi
saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah
meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara
mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas
namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh (Shahih Muslim hadits
No.1004).
Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah :

وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك
باجماع
العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء

Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas)
menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan
pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma
(sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas
sampainya doa doa (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal
90)

Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud
bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala
sedekahnya untuk mayyit. Demikian kebanyakan orang orang yang
kematian, mereka menjamu tamu tamu dengan sedekah yang pahalanya
untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan
khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak
mengharamkan itu.
Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala
dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.

1. Ucapan Imam Nawawi yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya
tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi
mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah,
berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan
tidak sampai makruh apalagi haram, dan yang dimaksud adalah
mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan
(ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah
jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan
jamuan. Hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar
semacam pesta yang menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi
pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah sekedar besek
atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi
sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada
pengunjung hukumnya sunnah.

2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang
orang adalah hal Bid ah Munkarah yang makruh (bukan haram).
Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka
yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela
sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang
orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan
untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat
ucapan beliau, bid ah buruk yang makruh, bukan haram, jika haram
maka ia akan menyebutnya : Bid ah munkarah muharramah, atau cukup
dengan ucapan Bid ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna
haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum
sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram.
Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja
menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu
tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat
menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para
Imam, dan hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yang
dangkal dalam pemahaman syariahnya.

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan
Ittikhadzuddhiyafah , ini maknanya membuat perjamuan besar ,
misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya
dalam pilkada dengan Ittikhadzuddhiyafah yaitu mengadakan
perjamuan. Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan
beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan
dimasa jahiliyah jika ada yang wafat.

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam
hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid ah yang makruh
(bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dengan ucapan
diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun
beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang
orang wahabi (gelar bagi penganut faham ibn abdul wahhab)
menafsirkan kalimat makruh adalah hal yang dibenci, tentu mereka
salah besar, karena Imam – Imam ini berbicara hukum syariah, bukan
bicara dicintai atau dibenci, makna makruh berbeda secara bahasa
dan secara syariah, maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang
dibenci, namun dalam syariah adalah hal yang jika dilakukan tidak
dapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Namun mereka ini
tidak bisa membedakan mana buku yang membahas masalah bahasa, mana
buku yang membahas hukum syariah.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat
istiadat baru berupa Wahsyah yaitu adat berkumpul di malam
pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam,
hal ini makruh, (bukan haram).
Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh
adalah sengaja membuat acara jamuan makan demi mengundang tamu –
tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau
justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru
Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah
memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah
yang pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yang
memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan.

Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan
merengut sambil berkata haram..haram.. dirumah duka (padahal
makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.

Dan masa kini pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan
makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka,
bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang
banyak datang maka anda tak suguhkan apa apa ..?, datang dari
luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota
datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka
dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat
bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.

Bahkan Rasul saw memerintahkan diadakan makanan dirumah duka,
sebagaimana hadits beliau saw ketika didatangkan kabar wafatnya
Jakfar bin Abi Thalib : Buatkan makanan untuk keluarga (alm)
Jakfar, sungguh mereka sedang ditimpa hal – hal yang menyibukkan
mereka (Musnad Ahmad dll), hadits ini justru menunjukkan bahwa
Rasul saw memerintahkan sahabat membuat makanan untuk mereka.
Kenapa? karena pasti banyak tamunya yang menyambanginya.

Mereka membalik makna hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits
ini dalil bahwa keluarga mayyit tak boleh menyiapkan makanan,
namun mereka lupa bahwa hadits ini justru perintah Rasul saw agar
disiapkan makanan dirumah duka, karena beliau saw bukan mengatakan
tidak boleh makan dirumah Jakfar, tapi justru buatkan makanan, dan
perintahnya jamak, Ishna uu.. yaitu : wahai kalian (bukan untuk
satu orang), ramai ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar
karena mereka sedang ditimpa hal yang menyibukkan mereka . Apa?
para tamu.

Didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, Hasan, Annafl, Sunnah,
Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna,
yaitu yutsab ala fi lihi walaa yu aqabu alaa tarkihi (diberi
pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
Imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal
yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak
mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh.

Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak
payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan
berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak
mengatakannya.

Dan mengenai kata Bid ah sebagaimana mereka menukil ucapan Imam
Nawawi, fahamilah bahwa Bid ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda
dengan BID AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid ah
terbagi 5 bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram
(rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165).

Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, fahami
dulu apa maksud bid ah dalam ta rif Imam Nawawi, barulah bicara
fatwa Bid ah oleh Imam Nawawi. Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa
dalam bid ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan Bid
ah Ghairu Mustahibbah bermakna Bid ah yang mubah atau yang
makruh, kecuali bila Imam Nawawi berkata Bid ah Muharramah (Bid
ah yang haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka
hukumnya antara Mubah dan makruh.

Untuk ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid ah
Munkarah Makruhah, (Bid ah tercela yang makruh), karena Bid ah
tercela itu tidak semuanya haram. Sebagaimana masa kini sajadah
yang padanya terdapat hiasan – hiasan warna warni membentuk
pemandangan atau istana – istana dan burung burung misalnya, ini
adalah bid ah buruk (munkarah) yang makruh, tidak haram untuk
memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah
semacam itu, namun bid ah buruk yang makruh, tidak haram, karena
shalatnya tetap sah.

Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh,
hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu aqabu ala fi lihi (mendapat
pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan).
Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang
orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait (tuan rumah)
menyuguhi.

Berkata Shohibul Mughniy :

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم
وشغلا ل
إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية

Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh,
karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan
meniru niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)

Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :

وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى
والأماكن
البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu
diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka
ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh,
dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka
mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).

(disini hukumnya berubah, yang asalnya makruh, menjadi mubah
bahkan hal yang mulia, karena tamu yang berdatangan dari jauh,
maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada
keluarga duka dan kebutuhan tamu)

Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat
jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang
tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama
mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin
menjenguk, lalu shohibulbait menyuguhi ala kadarnya, bukan kebuli
dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.

Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka
riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :
Dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : Ketika Umar ra ditusuk dan
terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan
untuk orang – orang (Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar pada
Mathalibul Aliyah Juz 1 hal 199 No.709, dan ia berkata sanadnya
Hasan)

Dari Thaawus ra : Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7
hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang orang
selama hari hari itu (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar
pd Mathalibul Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanadnya Kuat).
Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka
telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : Buatlah untuk
keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yang
membuat mereka sibuk (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy No.998
dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim Juz 1/372)

Demikian pula riwayat shahih dibawah ini :

فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل
للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ
بالطعام ووضعت الموائد، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال
العباس بن عبد المطلب : أيها الناس !، إن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا
وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد
الناس أيديهم فأكلوا

Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada
Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama
3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan –
hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya,
maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin..,
sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum
setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum
sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah
makanan ini..! , lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan,
maka orang orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan
makan.
(Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul
ummaal fii sunanil aqwaal wal af al Juz 13 hal 309, Thabaqatul
Kubra Li Ibn Sa d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al
Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)

Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dengan masakan
yang dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada
yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin
mengatakannya Makruh.
2. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit
hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita
mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku
mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab
: Betul (Shahih Bukhari hadits No.1322), bukankah wanita ini
mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,
3. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat
kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar
teh, atau kopi sederhana.
4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang
begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa
buah, atau uang, atau makanan, dengan landasan sabda Rasul saw :
Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar, sungguh mereka sedang
dirundung kesedihan
5. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena
tak ada yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yang
telah saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk
menjamu tamunya jika ia wafat
6. Boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau
catering untuk menyambut tamu tamu, karena pelarangan akan hal
itulah yang akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan
merepotkan mereka.
7. Makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan
demi menyambut tamu dirumah duka

Mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I^anatutthaalibin, yang
diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar),
sebagaimana dijelaskan “Syara^a lissurur”, yaitu jamuan makan
untuk kegembiraan. Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau
menyembelih 1.000 ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau
menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap
hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat
pahala.

II.6. TAHLILAN
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama
atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau
bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa
atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat –
kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, asma ul
husna, shalawat dan lain – lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir,
hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya
sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) lalu
bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan
berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk
mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah
meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan
bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau yaasiin, atau dzikir, tahlil, atau
shadaqah, atau qadha puasanya dan lain – lain, itu semua sampai
kepada Mayyit, dengan nash yang jelas dalam Shahih Muslim hadits
No.1149, bahwa seorang wanita bersedekah untuk ibunya yang telah
wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw , dan adapula riwayat
Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa seorang sahabat meng-hajikan
untuk ibunya yang telah wafat , dan Rasulullah saw pun
menghadiahkan Sembelihan Beliau saw saat Idul Adha untuk dirinya
dan untuk ummatnya, Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari
Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad (Shahih
Muslim hadits No.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada
mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) ulama seluruh madzhab dan
tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan
perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi i,
bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : Kuhadiahkan , atau wahai
Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini.. ,
bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi iy
mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya
pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada
lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah
(dua puluh satu dalil) tentang Intifa min amalilghair (mendapat
manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI
SESEORANG KECUALI APA YanG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra
menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat DAN ORANG
ORANG YANG BERIMAN YANG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN .

Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan Adam,
maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), Shadaqah Jariyah,
Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang
orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas
jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah saw
menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang
dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah
memerintahkan di dalam Alqur^an untuk mendoakan orang yang telah
wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI
SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS. Al
Hasyr : 10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam – Imam
yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul
dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah,
tasbih, shalawat, ayat qur an, dirangkai sedemikian rupa dalam
satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya
dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Alqur an dalam disket
atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik
awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b,
maka ini semua dibuat – buat untuk mempermudah muslimin terutama
yang awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah,
Alqur an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu
dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab.

Bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara
berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Alqur
an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula
di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari
kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan
tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid ah
Hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita
perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang
mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara
Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa
yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?,
semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk
menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang
yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun,
pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana
dengan komputer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan
adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid – masjid pun
adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan
tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya.
Sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari
10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari
10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan
Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as,
lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula (HR
Shahih Bukhari hadits No.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi
saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca
fatihah, maka setelah Fatihah maka ia membaca Al Ikhlas, lalu
surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat Al Ikhlas setiap
rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu
berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul
saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal
itu?, Maka Imam Masjid Quba itu berkata : aku mencintai surat Al
Ikhlas, maka aku tak mau melepasnya pada setiap rakaat.
Maka Rasul saw menjawab : Cintamu pada surat Al Ikhlas akan
membuatmu masuk sorga! (Shahih Bukhari Bab Adzan).

Berkata Hujjatul islam Al Imam Ibn Hajar ALAsqalaniy dalam
kitabnya Fathul Baari Bisyarah shahih Bukhari mensyarahkan makna
hadits ini beliau berkata :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ
وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا لِغَيْرِهِ

“pada riwayat ini menjadi dalil diperbolehkannya mengkhususkan
sebagian surat Alqur^an dengan keinginan diri padanya, dan
memperbanyaknya dengan kemauan sendiri, dan tidak bisa dikatakan
bahwa perbuatan itu telah mengucilkan surat lainnya” (Fathul Baari
Bisyarah Shahih Bukhari Juz 3 hal 150 Bab Adzan)

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran
Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat
Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak
dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits
(seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para
Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw
1 Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq
rahimahullah : aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan
kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw
.

2 Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin
Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku
lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku
menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku
khatamkan 12.000 kali khatam Alqur an untuk Rasulullah saw, dan
kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw .
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan
70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada
218 H dan wafat pada 313H

3 Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti
Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku
mengkhatamkan Alqur an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw.
(Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
semoga sukses dg segala cita cita,

Wallahu a^lam

Forum silahturahmi jama^ah Majelis Rasulullah, klik disini http://
groups.yahoo.com/group/majelisrasulullah

Peduli Perjuangan Majelis Rasulullah saw
No rekening Majelis Rasulullah saw:
Bank Syariah Mandiri
Atas nama : MUNZIR ALMUSAWA
No rek : 061-7121-494

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=25213