jael1475
| MUHRIM – 2007/07/20 05:24Assalamualaikum Wr.Wb. Mohon maaf sebelumnya Pak Kiyai … langsung saja , Saya ingin bertanya mengenai "Muhrim" Apa artinya , ada teman saya bahwa yg dinamakan Muhrim sebatas Seseorang sudah menikah batas muhrim itu sudah boleh maksudnya kalau seorang sudah menikah suami dan istri disebut sudah menjadi muhrimnya dan boleh syah apabila dia (suami) sudah wudhu terkena kulit tidak batal demikian kira2nya Mohon maaf sebelumnya bila pertanyaan Saya membingungkan ..!Terima kasih saya ucapkan sebelumnya Wassalam |
| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanya |
munzir
| Re:MUHRIM – 2007/07/21 04:33Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, Limpahan kebahagiaan dan rahmat Nya swt semoga selalu tercurah pada anda dan keluarga, saudaraku yg kumuliakan, yaitu wanita yg muhrim adalah : dari periparan dari persusuan nah.. demikianlah mereka mereka yg menjadi muhrim kita (QS Annisa 23). menurut Madzhab Syafii yg selain mereka yg diatas ini bila bersentuhan maka batal wudhunya. termasuk istri/suami. untuk yg wanita maka muhrim lelakinya adalah nama nama diatas, tinggal menggantinya menjadi pria, yaitu ayah, anak lelaki dst. menurut madzhab Imam Ahmad bin hanbal bersentuhan dg istri atau wanita lainnya tdk batal wudhu, namun menurut madzhab syafii batal wudhunya. demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, wassalam
| |||||
| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanya |
munzir
| Re:MUHRIM – 2007/10/03 00:15Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, Cahaya Keberkahan Lailatul Qadr semoga selalu menerangi hari hari anda dengan kebahagiaan, Saudaraku yg kumuliakan, misalnya kita membeli air, apa hukumnya membeli air?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yg wajib. karena kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata : “aku bermadzhabkan Maliki dan madzhab Maliki tak batal wudhu bila bersentuhan dengan wanita”, maka zeyd berkata : “wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii!, karena madzhab maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii..”. Demikian contoh kecil dari kesalahan orang yg mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yg akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia butuh sanad yg ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas.. dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dg madzhab syafii nya, demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras mencari madzhab lain. Menyikapi perbedaan madzhab adalah dengan kelembutan dan bukan permusuhan tentunya, namun jangan sesekali mengikuti madzhab lain sebelum memahaminya dengan seksama, dan cara terbaik adalah jangan mengikuti madzhab lain kecuali bila di wilayah mereka/negeri lain yg bermadzhab lain dengan kita. Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, Wallahu a'lam
|
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=0&func=view&catid=8&id=8137