AbuNajiyah MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN – 2007/05/08 00:25
Assalammu^alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Apakah sudah benar apa yang di paparkan di bawah ini, mohon
masukannya atau koreksinya buat menambah khazanah Ilmu ?
MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN
Tanya : Di daerah saya sudah menjadi tradisi jika ada
seseorang yang meninggal dunia, maka keluarga jenazah diharuskan
membuat/menyajikan makanan bagi orang-orang yang ta ziyah.
Kadang-kadang hal ini memberatkan bagi keluarga jenazah karena
kondisi keuangan yang tidak memadai. Menurut Anda, bagaimana syari
at Islam memandang tradisi/kebiasaan ini ?
Jawab : Sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah (Al-Qur an),
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam (As-Sunnah Ash-Shahiihah), dan sebaik-baik
pemahaman atas dua hal tersebut adalah pemahaman para shahabat
Rasulullah radliyallaahu anhum ajm ain (atsar
as-salafush-shalih). Dan untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka
kami akan mengembalikannya kepada 3 (tiga) hal tersebut.
Allah ta ala telah berfirman :
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian semua .. (QS. Al-Baqarah :
185).
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam telah bersabda :
إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه فسددوا وقاربوا……..
Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang bersikap
berlebih-lebihan dalam beragama pasti akan kalah. Beramallah yang
benar ! Beramallah yang paling dekat dengan pengamalan syari at
(HR. Bukhari nomor 39 penomoran dari maktabah sahab : 39 dan
6098; dan Muslim nomor 2816).
Ayat dan hadits di atas memberikan pemahaman bagi kita semua bahwa
agama Islam ini adalah agama yang mudah. Mudah untuk dipahami dan
mudah untuk diamalkan. Seorang muslim hanya dibebani untuk
mengerjakan apa-apa yang dicontohkan dan meninggalkan apa-apa yang
dilarang atau tidak ada contohnya (dari Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam). Itulah salah satu sisi kemudahan yang sangat
besar bagi umat Islam. Mereka sekali-kali tidak dibebani untuk
membuat-buat syari at yang akhirnya justru memberatkan mereka.
Mengkerucut kepada inti pertanyaan saudara, maka ada beberapa
riwayat shahih mengenai hal ini.
Dari Jarir bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu anhu, ia berkata
:
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada
para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit) (HR.
Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال :
فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك
النياحة.
Jarir mendatangi Umar, kemudian Umar berkata : Apakah kamu
sekalian suka meratapi mayit ? . Jarir menjawab : Tidak . Umar
berkata : Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka
berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ? .
Jarir menjawab : Ya . Umar berkata : Hal itu sama dengan
niyahah (meratapi mayit) . (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Sa id bin Jubair radliyallaahu anhu, ia berkata :
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل
الميت لبست منهم
Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga
mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit (HR.
Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang
berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda :
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan
dan meratapi mayit (an-niyahah) . (HR. Muslim nomor 67)
Para ulama mu tabar telah sepakat membenci perbuatan ini (yaitu
berkumpul-kumpul di tempat mayit dan makan makanan di dalamnya).
Kami akan menyebutkan beberapa di antara banyak perkataan ulama
mengenai hal ini.
1. Imam An-Nawawi Asy-Syafi i berkata :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير
مستحبة وهو بدعة.
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut
berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil
naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai.
(Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid ah (Al-Majmu
Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).
2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi i berkata :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة
مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan
makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang
masyarakat, hukumnya bid ah munkarah (terlarang) lagi dibenci,
berdasarkan keterangan shahih dari Jarir bin Abdillah
(Tuhfatul-Muhtaj 1/577, Daarul-Fikr, tanpa tahun).
3. Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy berkata :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام و من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا
في الشرور وهي بدعة مستقبحة.
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit,
karena hidangan hanya pantas disajikan dalam waktu bahagia, bukan
dalam waktu-waktu musibah. Dan hal itu merupakan bid ah yang buruk
bila dilaksanakan (Hasyiyah Ibnu Abidin 2/240, Daarul-Fikr,
1386).
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata :
وأما جمع الناس على طعام ببيت الميت فبدعة مكروهة
Adapun berkumpul di dalam keluarga mayit yang menghidangkan
makanan, hukumnya bid ah makruhah (dibenci) (Hasyiyah Ad-Dasuqi
alasy-Syarhil-Kabiir 1/419, Darul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).
5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani (tokoh Indonesia yang hidup dan
meninggal di Makkah dimana kitab-kitabnya banyak ditelaah di
banyak ponpes NU di Indonesia) berkata :
أما الطعام الذي ويتجمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة
فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
Adapun menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang
berkumpul di malam penguburan mayit yang biasa disebut
al-wahsyah adalah dibenci, bahkan diharamkan (dengan sangat)
apabila biayanya diambil dari harta-harta anak yatim
(Nihayatuz-Zain fii Irsyadil-Mubtadi in halaman 281, Daarul-Fikr,
Beirut, Tanpa Tahun).
6. Dan lain-lain.
Bahkan para ulama NU Tasikmalaya pernah mengeluarkan pernyataan
serupa pada Majalah Al-Mawaa idz edisi bahasa Sunda :
Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar
tiloe perkara :
1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta teu mah,
orokaja da ari geus djadi adap mah sok era oepama heunteu teh.
Geura oepama heunteu sarerea mah ?
2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe
katinggal maot oge, hajah ditambahan.
3. Njoelajaan hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe dibere
joe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit .
[Al-Mawa idz majalah yang dikelola organisasi NU Tasikmalaya
Pangrodjong Nahdlatoel-Oelama Tasikmalaja, 1933 nomor 13 halaman
200].
Dari hadits, atsar, dan penjelasan ulama di atas telah jelas bagi
kita bahwa berkumpul dan makan makanan di tempat ahli mayit
bukanlah perkara yang disunnah. Bahkan itu bid ah yang sangat
dibenci. Semua ulama mu tabar yang dalam keilmuannya telah
menyapakati hal ini, kecuali sedikit di antara orang-orang awam
yang pendapat mereka diabaikan. Bahkan yang menjadi sunnah
(sebagaimana yang dijelaskan oleh ikatan ulama NU Tasikmalaya di
atas) adalah kita para tetangga ahli mayit yang membuatkan
makanan serta mengirimkannya kepada hli mayit yang sedang ditimpa
kesusahan. Dasarnya adalah perkataan Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam kepada para shahabatnya ketika Ja far bin Abi
Thalib radliyallaahu anhu gugur di medan jihad :
اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم أمر شغلهم
Buatlah makanan untuk keluarga Ja far. Sesungguhnya mereka tengah
ditimpa musibah yang merepotkan mereka (HR. Abu Dawud nomor 3132,
At-Tirmidzi nomor 998, Ibnu Majah nomor 1610, dan lain-lain;
shahih lighairihi).
Inilah yang diamalkan oleh orang-orang shalih dari kaum salaf
sebagaimana yang dikatakan Imam Asy-Syafi i dalam Al-Umm (1/278) :
Tetangga mayit atau kaum kerabatnya wajib membuatkan makanan yang
mengeyangkan untuk keluarga mayit pada hari si mayit wafat dan
pada malamnya. Hal itu merupakan sunnah dan perbuatan yang mulia.
Dan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang shalih
sebelum dan sesudah kami . [selesai]
Kesimpulan : Berkumpul dan makan makanan di keluarga mayit adalah
perbuatan yang tidak disyari atkan. Dan bagi keluarga mayit, maka
ia tidak perlu menyediakan makanan atau minuman yang sengaja
diperuntukkan kepada para tamu yang sedang ta ziyah atau membantu
pengurusan jenazah. Jika ia melakukannya, maka ia sama saja
mendorong orang untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Allah ta
ala berfirman :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرّ وَالتّقْوَىَ وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan
jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan maksiat (QS. Al-Maidah
: 2). Allaahu a lam.
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
ventura1982 Re:MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN – 2007/05/09 23:53
Assalaamu^alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang mati, itu
diperbolehkan. Banyak dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa
semacam itu termasuk ibadah yang terpuji dan , memang, dianjurkan
dengan berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi
jamuannya adalah termasuk sadaqah yang memang, dianjurkan oleh
agama menurut kesepakatan ulama^. — yang pahalanya dihadiyahkan
pada orang telah mati. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang
ada di balik jamuan tersebut, yaitu
(1) ikramud dlaif (memulyakan tamu)
(2) bersabar menghadapi musibah.
(3) tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Ketiga masalah tersebut, semuanya, termasuk ibadah dan perbuatan
taat yang diridlai oleh Allah Subhanahu Wata^ala serta pelakunya
akan mendapatkan pahala yang besar.
Dengan catatan biaya jamuan tersebut tidak diambilkan dari harta
ahli waris yang berstatus mahjuralaih. Apabila biaya jamuan
tersebut diambil dari harta ahli waris yang berstatus
mahjuralaih.(seperti anak yatim), maka hukumnya tidak bolehkan.
Namun demikian shadakah itu sama sekali tidak mengurangi nilai
pahala sedekah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit seperti
penjelasan diatas. ada beberapa ulama seperti Syaikh
nawawi,syaikh ismail dan lain lain menyatakan, bersedekah untuk
orang yang telah meninggal dunia itu sunnah(matlub) Cuma hal itu
tidak boleh disengaja dikaitkan dengan hari hari yang telah
mentradisi di suatu komunitas masyarakat. Malah jika acara
tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.
Dan dalam qoidah Ushul fiqh
“al adatu muhakkamatun” artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan
suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia,
mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum.Tetapi yang perlu
dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang
belum ada ketentuannya dalam syari^at tetapi Untuk hal-hal yang
sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka
adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh
dijadikan standar hukum.
Wa^llohu a^lam
Wassalam
Hartono – Mangga Besar XIII
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
munzir Re:MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN – 2007/05/10 09:29
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu
tercurah pada hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu
tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah
pada muslimin?,
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله
إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن
تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi
saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah
meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara
mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas
namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh (Shahih Muslim hadits
no.1004).
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك
باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas)
menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan
pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma
(sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas
sampainya doa doa (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal
90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud
bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala
sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg
kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk
si mayyit, maka hal ini sunnah.
Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya,
dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه
عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في
جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا
أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته
فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث
رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب
المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد
دفنه وأكلوا
riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh
Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari
seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw
dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw
memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki
dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan
istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya,
lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu
dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di
makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu
kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail
Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab
Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka
datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg
jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan
berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan
.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan
khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak
mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya
tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi
mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah,
berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan
tidak sampai makruh apalagi haram.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang
adalah hal Bid ah Munkarah yg makruh (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg
menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh
berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang,
yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang
agar datang dan meramaikan rumah.
Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja
menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu
bodoh atas syariah dan menyelewengkan makna.
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan
Ittikhadzuddhiyafah , ini maknanya membuat perjamuan besar ,
misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam
pilkada dengan Ittikhadzuddhiyafah yaitu mengadakan perjamuan.
Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak
mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman orang orang
wahabi yg membuat kebenaran diselewengkan.
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam
hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid ah yg makruh.
(Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas,
yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau
mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat
istiadat baru berupa Wahsyah yaitu adat berkumpul dimalam
pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal
ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah
sengaja membuat acara jamuan makan demi mengundang tamu tamu,
ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru
diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya
bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah
yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg
memakruhkannya.
Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan
adalah memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah
lalu mereka hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal
hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih
keluarga yg wafat,
lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan
makan di rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun
beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama
sahabatnya,
kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan
makan itu bila akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah
Muhammad saw.
Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan
merengut sambil berkata haram..haram dirumah duka (padahal
makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika
menyusahkan dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan
menyusahkan mereka itulah yg makruh,
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan
dirumah duka adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana
tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak
datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota
misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah
dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk
airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan
sangat membuat mereka malu.
Selama hal ini ada riwayat Rasul saw memakannya dan mendatangi
undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita
haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dg sunnah Nabi
saw, karena hal itu diperbuat oleh Rasul saw, namun kembali pada
pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka, bila
memberatkannya maka makruh, dan jangan sok berfatwa bahwa hal itu
haram.
Akhir dari jawaban saya adalah : semestinya orang yg berhati suci
dan menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk
bersedekah pada keluarga duka bila ada yg wafat di wilayahnya,
namun sebagian dari kita ini bukan menghibur mereka yg kematian,
malah mengangkat suara dg fatwa caci maki kepada muslimin yg
ditimpa duka agar jangan memberi makan apa apa untuk tamunya,
mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus bermuka
tembok pula pada tamu tamunya tanpa menyuguhkan apapun, lalu fatwa
makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan
ucapan mereka sendiri yg berhujjah bahwa agama ini mudah, dan
jangan dipersulit.
Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara saudara kita, mereka
ribut mengharamkan hal hal yg makruh dan melupakan hal hal yg
haram, yaitu menyakiti hati orang yg ditimpa duka.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
maaf saya menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada anda, namun
pada mereka, dan mohon maaf saya menjawab pertanyaan anda dari
Manokwari Irian jaya, mohon doa.
Wassalam.
Forum silahturahmi jama^ah Majelis Rasulullah, klik disini http://
groups.yahoo.com/group/majelisrasulullah
Peduli Perjuangan Majelis Rasulullah saw
No rekening Majelis Rasulullah saw:
Bank Syariah Mandiri
Atas nama : MUNZIR ALMUSAWA
No rek : 061-7121-494
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
MuhammadNurDT Re:MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN – 2007/05/13 21:29
semoga habib selalu diberikan keluasan ilmu oleh Allah
SWT..Amiinnn….
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
MuhammadSulton Re:MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN – 2007/05/13
22:07 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Pa kabar Bib ? semoga antum sekeluarga dan kru MR selalu dalam
curahan dan lindungan kasih sayang Allah SWT dan di beri
kesehetan tuk terus berdakwah di jalan Allah SWT.
Trima kasih atas pencerahan tuk perihal di atas yg sangat
bermanfaat dan memberikan “garis” keterangan yg sangat jelas
dalam bersedaqoh bagi sang mayit.
Saya pernah pula membaca riwayat di bawah ini, namun harap
pula pendapat habib akan riwayat berikut;
Hadis Thawus
Thawus al-Yamani adalah seorang tabi`in terkemuka dari
kalangan ahli Yaman. Beliau bertemu dan belajar dengan 50 – 70
orang sahabat Junjungan Nabi s.a.w. Thawus menyatakan bahawa
orang-orang mati difitnah atau diuji atau disoal dalam
kubur-kubur mereka selama 7 hari, maka adalah mereka menyukai
untuk diberikan makanan sebagai sedekah bagi pihak si mati
sepanjang tempoh tersebut.
Hadis Thawus ini dikategorikan oleh para ulama kita sebagai
mursal marfu^ yang sahih. Ianya mursal marfu^ kerana hanya
terhenti kepada Thawus tanpa diberitahu siapa rawinya daripada
kalangan sahabi dan seterusnya kepada Junjungan Nabi s.a.w.
Tetapi oleh kerana ianya melibatkan perkara barzakhiyyah yang
tidak diketahui selain melalui wahyu maka dirafa^kanlah
sanadnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. Para ulama menyatakan
bahawa hadis mursal marfu^ ini boleh dijadikan hujjah secara
mutlak dalam 3 mazhab sunni (Hanafi, Maliki dan Hanbali,
manakala dalam mazhab kita asy-Syafi`i ianya dijadikan hujjah
jika mempunyai penyokong (selain daripada mursal Ibnu
Mutsayyib). Dalam konteks hadis Thawus ini, ia mempunyai
sekurang-kurangnya 2 penyokong, iaitu hadis ^Ubaid dan hadis
Mujahid. Oleh itu, para ulama kita menjadikannya hujjah untuk
amalan yang biasa diamalkan oleh orang kita di rantau sini,
iaitu apabila ada kematian maka dibuatlah kenduri selama 7
hari di mana makanan dihidangkan dengan tujuan bersedekah bagi
pihak si mati.
Hadis Thawus ini dibahas oleh Imam Ibnu Hajar dalam “al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyyah” jilid 2 mukasurat 30. Imam besar kita
ini, Syaikh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami as-Sa^di al-Anshari
ditanya dengan satu pertanyaan berhubung sama ada pendapat
ulama yang mengatakan bahawa orang mati itu difitnah/diuji
atau disoal 7 hari dalam kubur mereka mempunyai asal pada
syarak.
Imam Ibnu Hajar menjawab bahawa pendapat tersebut mempunyai
asal yang kukuh (ashlun ashilun) dalam syarak di mana sejumlah
ulama telah meriwayatkan (1) daripada Thawus dengan sanad yang
shahih dan (2) daripada ^Ubaid bin ^Umair, dengan sanad yang
berhujjah dengannya Ibnu ^Abdul Bar, yang merupakan seorang
yang lebih besar daripada Thawus maqamnya dari kalangan tabi
`in, bahkan ada qil yang menyatakan bahawa ^Ubaid bin ^Umair
ini adalah seorang sahabat kerana beliau dilahirkan dalam
zaman Nabi s.a.w. dan hidup pada sebahagian zaman Sayyidina
^Umar di Makkah; dan (3) daripada Mujahid.
Dan hukum 3 riwayat ini adalah hukum hadis mursal marfu^
kerana persoalan yang diperkatakan itu (yakni berhubung orang
mati difitnah 7 hari) adalah perkara ghaib yang tiada boleh
diketahui melalui pendapat akal. Apabila perkara sebegini
datangnya daripada tabi`i ianya dihukumkan mursal marfu^
kepada Junjungan Nabi s.a.w. sebagaimana dijelaskan oleh para
imam hadits. Hadits Mursal adalah boleh dijadikan hujjah di
sisi imam yang tiga (yakni Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan
juga di sisi kita (yakni Syafi`i) apabila ianya disokong oleh
riwayat lain. Dan telah disokong Mursal Thawus dengan 2 lagi
mursal yang lain (iaitu Mursal ^Ubaid dan Mursal Mujahid),
bahkan jika kita berpendapat bahawa sabit ^Ubaid itu seorang
sahabat nescaya bersambunglah riwayatnya dengan Junjungan Nabi
s.a.w.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa telah sah
riwayat daripada Thawus bahawasanya “mereka menyukai/
memustahabkan untuk diberi makan bagi pihak si mati selama
tempoh 7 hari tersebut.” Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa
“mereka” di sini mempunyai 2 pengertian di sisi ahli hadis dan
usul. Pengertian pertama ialah “mereka” adalah “umat pada
zaman Junjungan Nabi s.a.w. di mana mereka melakukannya dengan
diketahui dan dipersetujui oleh Junjungan Nabi s.a.w.”;
manakala pengertian kedua pula ialah “mereka” bermaksud “para
sahabat sahaja tanpa dilanjutkan kepada Junjungan Nabi s.a.w.”
(yakni hanya dilakukan oleh para sahabat sahaja).
Ikhwah jadi kita dimaklumkan bahawa setidak-tidaknya amalan
“ith^aam” ini dilakukan oleh para sahabat, jika tidak semuanya
maka sebahagian daripada mereka. Bahkan Imam ar-Rafi`i
menyatakan bahawa amalan ini masyhur di kalangan para sahabat
tanpa diingkari. Amalan memberi makan atau sedekah kematian
selama 7 hari mempunyai nas yang kukuh dan merupakan amalan
yang dianjurkan oleh generasi awal Islam lagi, jika tidak
semua sekurang-kurangnya sebahagian generasi awal daripada
kalangan sahabi dan tabi`in. Oleh itu, bagaimana dikatakan
ianya tidak mempunyai sandaran.
Imam as-Sayuthi juga telah membahaskan perkara ini dengan
lebih panjang lebar lagi dalam kitabnya “al-Hawi lil Fatawi”
juzuk 2 di bawah bab yang dinamakannya “Thulu^ ats-Tsarayaa bi
idhzhaari maa kaana khafayaa” di mana antara kesimpulan yang
dirumusnya pada mukasurat 194:-
· Sesungguhnya sunnat memberi makan 7 hari. Telah sampai
kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahawasanya amalan ini
berkekalan diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam
as-Sayuthi) di Makkah dan Madinah. Maka zahirnya amalan ini
tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat sehingga
sekarang, dan generasi yang datang kemudian telah mengambilnya
daripada generasi terdahulu sehingga ke generasi awal Islam
lagi (ash-shadrul awwal). Dan aku telah melihat kitab-kitab
sejarah sewaktu membicarakan biografi para imam banyak
menyebut: ” dan telah berhenti/berdiri manusia atas kuburnya
selama 7 hari di mana mereka membacakan al-Quran”.
· Dan telah dikeluarkan oleh al-Hafidz al-Kabir Abul Qasim
Ibnu ^Asaakir dalam kitabnya yang berjodol “Tabyiin Kadzibil
Muftari fi ma nusiba ilal Imam Abil Hasan al-^Asy^ariy” bahawa
dia telah mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath NashrUllah
bin Muhammad bin ^Abdul Qawi al-Mashishi berkata: “Telah wafat
asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi pada hari Selasa 9
Muharram 490H di Damsyik. Kami telah berdiri/berhenti/berada
di kuburnya selama 7 malam, membaca kami al-Quran pada setiap
malam 20 kali khatam.”
Ikhwah, “ith`aam” ini boleh mengambil apa jua bentuk. Tidak
semestinya dengan berkenduri seperti yang lazim diamalkan
orang kita. Jika dibuat kenduri seperti itu, tidaklah menjadi
kesalahan atau bid`ah, asalkan pekerjaannya betul dengan
kehendak syarak.
tuk selengkap nya bisa di liat di http://www.geocities.com/
pondok_tampin/permasalahan/hadis_thawus_dan_kenduri.html
Atas perhatian dan pendapat habib saya ucapkan trima kasih.
Wassalam
Muhammad Sulton
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
munzir Re:MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN – 2007/05/14 03:17
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan semoga selalu tercurah pada hari hari anda,
saudaraku yg kumuliakan,
ringkasnya bahwa :
1. Tak ada larangan sedekah atas nama mayyit atau atas nama
keluarga duka, 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 1000 hari atau
setiap hari, sadakah boleh boleh saja tanpa ada nash yg
melarangnya.
mengenai kenapa ada batasan 40 hari?, 3 hari?, 1000 hari? ini
mengikuti adat orang hindu!,
ucapan ini hanya dari mereka yg dangkal pemahaman syariahnya, lalu
kenapa kita mengikuti adat orang kafir dengan memakai komputer,
podium mimbar di masjid, karpet di masjid, madrasah yg dipakai
Bangku dan kursi, yg itu semua adalah adat orang kafir?,
boleh boleh saja ikut adat orang kafir kalau itu membawa manfaat
dan kebaikan sebagaimana Rasul saw yg mengikuti adat orang kafir
yahudi dalam puasa di hari 10 muharram, yg mana orang yahudi
berpuasa dihari itu karena hari 10 muharram adalah hari selamatnya
musa as dari kejarasn fir;aun, dan Rasul saw malah berkata : Kami
lebih berhak atas musa dari kalian, lalu seraya memerintahkan
sahabat berpuasa .
juga dalam Bab Jinayat bahwa nyawa dihargai 100 ekor onta hamil,
ini Qiyas dari zaman jahiliyah ketika Abdulmuttalib bersedekah
untuk putranya Abdullah ketika dimasa itu ia nadzar bila lahir
anak lelaki lagi maka ia akan membunuhnya sebagai tumbal, namun
ketika lahir lelaki (abdullah) maka ia sayang tuk membunuhnya,
maka diadakanlah undian dadu, satu kearah abdullah, satu kearah 10
ekor onta, maka saat diundi tetap jatuh pada Abdullah, maka
Abdulmuttalib menambah lagi 10 ekor onta, dan tetap undian jatuh
pada Abdullah hingga 100 ekor onta, barulah undian jatuh pada
Onta.
maka Abdulmuttalib menyembelih 100 ekor unta demi nyawa Abdullah,
maka kejadian ini dijadikan Qiyas pada pembunuhan dalam hukum
Syariah Islam, mereka yg membunuh maka harus dibunuh atau membayar
100 ekor onta hamil bila membunuh dengan sengaja.
hukum ini diambil dari adat jahiliyah, dan banyak lagi.
2. yg dilarang adalah mengadakan pesta jamuan makanan untuk maksud
mengumpulkan orang banyak disaat ada kematian, hal ini makruh,
sebaiknya kita membantunya, bukan memberatkan / berduyun duyun
numpang makan dirumah duka. namun tak ada larangan makan di rumah
duka bila disuguhi karena Rasul saw melakukannya.
3. mengingkari hal hal furu^iyah semacam ini menunjukkan buruknya
i^tikad yg menyebabkan perpecahan dan permusuhan pada muslimin.
wallahu a^lam
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=4019