siliwangi
| Melafadhkan Niat Menurut Madzhab Syafi'iyyah – 2007/07/31 20:51Assalammu'alaikum wr.wb. Semoga Allah memberikan kesabaran dan hikmah kepada Habib Munzir, Imam Syefei'i Ra.a juga punya guru hampir 1000 Ulama. walaupun saya tidak berhak berkecinpung dalam masalah ikhtilaf , karena masalah iktilaf hanya kewenangan para Ulama sebab ke Ilmuannya. tetapi saya hanya minta kejelasan saja dari Habib untuk menambah khazanah ke Ilmuan saya, udah fakta bahwa permasalah yang berada di tengah-tengah ummat sudah sangat berbeda-beda dan beragam. tolong di koreksi artikel di bawah ini, dari pendapat teman saya. Melafadhkan Niat Menurut Madzhab Syafi'iyyah Ada sebuah fenomena yang jarang mendapatkan sorotan oleh kebanyakan orang, karena ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya, di antaranya adalah faktor taqlid, jahil terhadap agama, banyaknya orang yang melakukannya sehingga sudah menjadi sebuah adat yang mendarah-daging, sulit dihilangkan, kecuali jika Allah menghendakinya. Sehingga terkadang menjadi sebab perselisihan, perseteruan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin sendiri. Di antara fenomena tersebut, tersebarnya kebiasaan “melafazhkan niat”ketika hendak melaksanakan ibadah, utamanya shalat. Definisi Niat Kalau kita membuka kitab-kitab kamus berbahasa arab, maka kita akan jumpai ulama bahasa akan memberikan definisi tertentu bagi niat. Ibnu Manzhur -rahimahullah- berkata, “Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Sedang niat adalah arah yang dituju”. [Lihat dalam Lisan Al-Arab (15/347)] Imam Ibnu Manzhur-rahimahullah- juga berkata, “Jadi niat itu merupakan amalan hati yang bisa berguna bagi orang yang berniat, sekalipun ia tidak mengerjakan amalan itu. Sedang penunaian amalan tidak berguna baginya tanpa adanya niat. Inilah makna ucapannya:Niat seseorang lebih baik daripada amalannya”. [Lihat Lisan Al-Arab (15/349)] Dari ucapan ulama bahasa ini, bisa kita simpulkan bahwa niat adalah maksud dan keinginan seseorang untuk melakukan suatu amalan dan pekerjaan. Jadi niat itu merupakan amalan hati. Hakekat Madzhab Syafi’iyyah dalam Masalah ini Banyak orang di negeri kita, ketika mereka diberitahu bahwa melafazhkan niat saat kalian ingin berwudhu’ atau shalat tak ada sunnah dan contohnya, karena tak pernah dilakukan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Serta-merta mereka marah dan beralasan: “Siapa yang mengatakan tidak ada contohnya? Inikan madzhab Syafi’iy !!” Alasan ini tidaklah berdasar, karena ada dua hal berikut ini : Pertama , Madzhab tidaklah bisa dikatakan contoh atau dijadikan dalil, sebab dalil menurut para ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Kedua , madzhab Syafi’iy justru sebaliknya menyatakan bahwa niat itu tempatnya di hati, tak perlu dilafazhkan. Betul ada sebegian kecil di antara Syafi’iyyah yang berpendapat demikian, namun ini bukan pendapat madzhab, dan mayoritas, bahkan minoritas. Selain itu, pendapat yang ditegaskan oleh sebagian kecil dari pengikut madzhab Asy-Syafi’iy dalam masalah ini telah disanggah sendiri oleh Imam An-Nawawy, sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Maka kelirulah orang yang menyatakan bahwa “bolehnya melafazhkan niat” merupakan madzhab Asy-Syafi’iy dan pengikutnya. Mengeraskan dan melafazhkan niat bukanlah termasuk sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan tidak wajib menurut empat ulama madzhab baik dalam wudhu’, shalat, shaum (puasa) maupun ibadah lainnya, bahkan merupakan perkara baru yang diada-adakan oleh sebagian orang-orang belakangan. Seorang Ulama dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyyah, Qodhi Abu Ar-Robi’ Sulaiman bin Umar Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata, “Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukan termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika lantarannya terjadi gangguan terhadap orang-orang yang sedang shalat, maka itu haram! Barangsiapa yang menyatakan bahwa mengeraskan niat termasuk sunnah, maka ia keliru, tidak halal baginya dan selain dirinya untuk menyatakan sesuatu dalam agama Allah tanpa ilmu”. Syaikh Ala’uddin Ibnul Aththar, dari kalangan madzhab Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata, “Mengeraskan suara ketika berniat disertai gangguan terhadap orang-orang yang sedang shalat merupakan perkara haram menurut ijma’. Jika tidak disertai gangguan, maka ia adalah bid’ah yang jelek. Jika ia maksudkan riya’ dengannya, maka ia haram dari dua sisi, termasuk dosa besar. Orang yang mengingkari seseorang yang berpendapat itu sunnah, orangnya benar. Sedangkan orang yang membenarkannya keliru. Menisbahkan hal itu kepada agama Allah karena ia yakin itu agama, merupakan kekufuran. Tanpa meyakini itu agama, (maka penisbahan itu) adalah maksiat. Wajib bagi orang mukmin yang mampu untuk melarangnya dengan keras, mencegah dan menghalanginya. Perkara ini tidaklah pernah dinukil dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , seorang sahabatnya, dan tidak pula dari kalangan ulama kaum muslimin yang bisa dijadikan teladan”. [Lihat Majmu’Ar-Rosa’il Al-Kubro (1/254-257)] Imam Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakr As-Suyuthy -rahimahullah- , seorang ulama bermadzhab Syafi’iyyah berkata, “Diantara jenis-jenis bid’ah juga adalah berbisik-bisik ketika berniat shalat. Itu bukanlah termasuk perbuatan Nabis -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka tidaklah pernah mengucapkan niat shalat, selain takbir. Allah -Ta’ala- berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ “Sungguh pada diri Rasulullah ada contoh yang baik bagi kalian”. (QS. Al-Ahzab: 21) Asy-Syafi’iy -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Berbisik-bisik ketika berniat shalat, bersuci termasuk bentuk kejahilan terhadap syari’at, dan kerusakan dalam berpikir”. [Lihat Al-Amr bil Ittiba’ wa An-Nahyu an Al-Ibtida’ (hal. ……)] Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy-rahimahullah-, seorang pembesar madzhab Syafi’iyyah berkata, “Kemudian ia berniat. Berniat termasuk fardhu-fardhu shalat karena berdasarkan sabda Nabi, [“Sesugguhnya amalan itu tergantung niatnya dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan”.], dan karena ia juga merupakan ibadah murni (mahdhoh). Maka tidak sah tanpa disertai niat seperti puasa. Sedang tempatnya niat itu adalah di hati. Jika ia berniat dengan hatinya, tanpa lisannya, niscaya cukup. Di antara sahabat kami ada yang berkata, [“Dia berniat dengan hatinya, dan melafazhkan (niat) dengan lisan”.] Pendapat ini tak ada nilainya karena niat itu adalah menginginkan sesuatu dengan hati”. [Lihat Al-Muhadzdzab (3/168-bersama Al-Majmu’) karya Asy-Syairazy -rahimahullah-] Imam An-Nawawy -rahimahullah- berkata ketika menukil pendapat orang-orang bermadzhab Syafi’i yang membantah ucapan Abu Abdillah Az-Zubairy di atas, “Para sahabat kami -yakni orang-orang madzhab Syafi’iyyah- berkata, [“Orang yang berpendapat demikian telah keliru. Bukanlah maksud Asy-Syafi’i dengan “mengucapkan” dalam shalat adalah ini (bukan melafazhkan niat). Bahkan maksudnya adalah (mengucapkan ) takbir”. ]”. [Lihat Al-Majmu (3/168)] Awal Shalat adalah Takbir, Bukan Melafazhkan niat. Takbir merupakan awal gerakan dan perbuatan yang dilakukan dalam shalat, tapi tentunya didahului adanya niat, maksud dan keinginan untuk shalat, tanpa melafazhkan niat karena niat merupakan pekerjaan hati. Kalau niat dilafazhkan, maka tidak lagi disebut “niat”, tapi disebut “an-nuthq” atau “at-talaffuzh”, artinya “mengucapkan”. Semoga dipahami, ini penting !! Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan takbir merupakan awal gerakan shalat, tanpa didahului melafazhkan dan mengeraskan niat. Diantara dalil-dalil tersebut: Dari Ummul Mu’minin A’isyah Rodhiyallahu anha berkata: كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَلاَةَ بِالتَكْبِيْرِ “Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- membuka shalatnya dengan takbir” .[HR. Muslim dalam Ash-Shahih (498)] Hadits ini menunjukkan bahwa beliau membuka shalatnya dengan melafazhkan takbir, bukan melafazhkan niat atau sejenisnya yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang tidak paham agama, seperti melafazhkan ta’awwudz, basmalah atau dzikir yang berbunyi, “ilaika anta maqshudi waridhaka anta mathlubi” (artinya, “Tujuanku hanyalah kepada-Mu, dan ridha-Mu yang aku cari”). Dari sini kita mengetahui dan memastikan bahwa melafazhkan dan menjaharkan niat tak ada tuntunannya dari Nabi. Maka alangkah benarnya apa yang ditegaskan oleh Syaikh Ahmad bin Abdul Halim Al-Harroniy-rahimahullah- ketika beliau berkata, “Andaikan seorang di antara mereka hidup seumur Nuh -‘alaihis salam– untuk memeriksa: apakah Rasulullah atau salah seorang sahabatnya pernah melakukan hal itu, niscaya ia tak akan mendapatkannya, kecuali ia terang-terangan dusta. Andaikan dalam hal ini ada kebaikannya, niscaya mereka akan mendahului dan menunujuki kita”. [Lihat Lihat Mawarid Al-Aman (hal. 221)] Ringkasnya, melafazhkan dan mengeraskan niat merupakan perkara baru dan bid’ah yang tak ada dasarnya dalam Islam. Jika seseorang mengamalkannya, dia telah menyelisihi petunjuk Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang tidak pernah mengajarkan perkara itu kepada sahabatnya, dan akhir dari pada amalan orang ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”. [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (2697)] Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (12/16), “Hadits ini merupakan sebuah kaedah agung di antara kaedah-kaedah Islam. Hadits termasuk jawami’ al-kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena ia gamblang dalam menolak segala perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang diada-adakan”. Ibnu Daqiq Al-Ied-rahimahullah- dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43), “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung di antara kaidah-kaidah agama. Dia termasuk “Jawami’ Al-Kalim” (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada Al-Mushthofa -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”. Di antara perkara baru dan bid’ah yang tertolak amalannya adalah melafazhkan niat dan sejenisnya. [Lihat Al-Ibda’ fi Madhoor Al-Ibtida’ (hal. 256-257) oleh Syaikh Ali Mahfuzh, As-Sunan Wa Al-Mubtada’at (hal. 45) oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Asy-Syuqoiry, Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa Ma La Ashla Lahu (hal. 497-498 & 635), Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh Syaikh Ibnu Baz, Tashhih Ad-Du’a (hal. 317-318) oleh Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dan As-Sunan Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal. 32-36) oleh Amer Abdul Mun’im Salim -rahimahumullah-] Abu Ubaidah Mashyhur bin Hasan Salman-hafizhohullah- berkata dalam Al-Qoul Mubin (hal. 95), “Kita bisa menyimpulkan dari pembahasan terdahulu bahwa nash-nash ucapan para ulama dari berbagai tempat dan zaman menetapkan bahwa menjaharkan niat merupakan bid’ah, dan barangsiapa yang menyatakan sunnah, maka ia sungguh telah berbuat keliru atas nama Imam Asy-Syafi’iy”. [Lihat Al-Ifshoh (1/56),Al-Inshof (1/142), Fath Al-Qodir (1/186),Majmu’ Al-Fatawa(22/223), dan Maqoshid Al-Muakallafin fi Ma Yuta’abbad bihi Robbul Alamin (hal. 132 dan seterusnya)] Terakhir, melafazhkan niat bukanlah madzhab Imam Asy-Syafi’i dan kebanyakan para pengikutnya. Bahkan Imam Az-Zairazy dan An-Nawawy sendiri yang terhitung orang terkemuka dalam madzhab Syafi’iyyah mengingkari pendapat bolehnya melafazhkan niat sekalipun pendapat itu datangnya dari orang bermadzhab Syafi’i. Demikianlah sewajarnya yang diikuti oleh kaum muslimin. Jika ia menemukan suatu pendapat yang tak berdasarkan Sunnah, dan telah sampai padanya kebenaran, ia berhak menyatakan pendapatnya keliru sekalipun berlawanan dengan madzhab dan hawa nafsunya. [Lihat Tashhih Ad-Du’a (hal. 318) oleh Syaikh Bakr Abu Zaid.] Dinukil dari : http://almakassari.com/?p=48 |
| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanya |
munzir
| Re:Melafadhkan Niat Menurut Madzhab Syafi'iyyah – 2007/08/01 21:11Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, Rahmat dan kelembutan Nya swt semoga selalu menyejukkan hari hari anda, Saudaraku yg kumuliakan, Bukankah niat adalah rukun shalat yg pertama..?, dan rupanya mereka ini masih belum mengerti rukun shalat yg pertama, sibuk membahas ucapan para imam kesana kemari, padahal itu sudah dibahas di kitab tuntunan shalat untuk anak SD, masya Allah… Masya Allah.. Masya Allah.. dari pembodohan dan naudzubillah dari kesombongan.., Anak kecil pun tahu bahwa lafadz niat bukan wajib hukumnya, dan tidak ada madzhab manapun yg mengatakan lafadz niat itu wajib, Cuma karena bodohnya penulis artikel atau karena liciknya dan ingin membodohi ummat maka ia menyebut hal ini, membuat bingung, Seakan akan ada orang bicara pada anda : meniup balon selepas shalat adalah bukan hal yg wajib, demikian Jumhur 4 Imam Madzhab, dan yg mengatakan bahwa meniup balon selepas shalat adalah merupakan hal yg wajib maka itu merupakan fatwa sesat yg bertentangan dengan fatwa 4 Imam madzhab, dia telah melanggar aturan Syariah, sebagaimana firman Nya swt dalam ayat anu, surat anu, dan juga telah berfatwa Imam Anu bahwa hal hal yg …bla..bla,…bla.. Apa maksudnya pembahasan mereka ini..?, tak pernah ada yg mengatakan lafadz niat shalat itu wajib.., cuma mereka saja ngada ada sendiri..lalu mencaci maki muslimin tanpa sebab yg jelas.. Masalah lafadh niat itu adalah demi Ta’kid saja, (penguat dari apa yg diniatkan), itu saja, mudah bukan?, berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja. Tak adapula yg mengeraskan suara dalam lafadh niat shalatnya, mengeraskan suara hingga mengganggu khusyu orang lain itu adalah berteriak dalam melafadhkanya, tentunya tak pernah ada ustaz manapun yg mengajarkan lafadh niat itu harus mengganggu orang lain maka wajib dg suara keras, Tidak adapula yg mengatakannya wajib, tak ada pula yg melarang lafadh niat dengan suara pelahan demi menguatkan niat, kecuali wahabi dan orang orang yg dangkal pemahamannya dalam ilmu fiqih, tak perlu berdalil Imam Nawawi dalam Minhajuttalibin, silahkan tampilkan ucapan imam nawawi yg melarang lafadh niat dalam shalat? Sabda Rasulullah saw : “Allah tak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hamba hamba Nya, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, hingga tak lagi tersisa ulama pada suatu kaum, maka mereka mengambil guru dari orang orang jahil, lalu mereka (guru guru jahil itu) ditanya (pelbagai masalah), maka mereka berfatwa tanpa ilmu, maka mereka itu sesat, dan menyesatkan” (shahih Bukhari) Saran saya untuk anda, cukuplah menukil sana sini dari artikel wahabi, carilah guru yg mempunyai sanad dalam segala ibadahnya, guru yg menuntun anda kejalan Allah, mengenalkan kepada Allah, membimbing anda meninggalkan dosa dan mengajak anda beramal pahala, Carilah guru yg selalu berdoa untuk hidayah para pendosa, carilah guru yg khusyu dan mengamalkan sunnah, cukuplah perdebatan kesana kemari yg tidak lain kecuali menambah musuh dan kepekatan hati. Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, Wallahu a’lam
| |||||
| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanya |
munzir
| Re:Melafadhkan Niat Menurut Madzhab Syafi'iyyah – 2007/08/05 06:49Allahumahdiy Qaumiy fainnahum Laa Ya’lamuun.., amiin
| |||||
| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanya |
munzir
| Re:Melafadhkan Niat Menurut Madzhab Syafi'iyyah – 2007/08/13 23:47kiranya adakah yg perlu diperjelas setelah pembahasan diatas?
| |||||
| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanya |
munzir
| Re:Melafadhkan Niat Menurut Madzhab Syafi'iyyah – 2007/08/15 04:27Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, Cahaya kemuliaan Bulan Rasulullah saw ini semoga selalu menerangi hari hari anda dalam kebahagiaan, Saudaraku yg kumuliakan, maka sanad guru adalah yg terkuat menjadi pegangan, sebab hadits yg ada masa kini adalah kurang dari 1% hadits yg ada dimasa mereka para sahabat, para Imam dan Muhadditsin, maka rujukan terkuat adalah sanad guru. mengenai akhlak dalam bertanya adalah penting, nabi saw berlemah lembut walau pada musyrik sekalipun, namun Nabi saw berkali kali menegur dg keras ketika ada yg tak berlaku sopan, Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, Wallahu a’lam
|