Masih tentang Mutasyabihat –

0
85

Qudamah Masih tentang Mutasyabihat – 2007/10/06 23:41 Assalamu^alaikum ya
Habib,
Dengan tidak mengurangi rasa memuliakan, dan dengan niat untuk
menuntut ilmu yang haq (sesuai dengan faham Ahlussunnah wal
jama^ah), ana bertanya lagi kepada habib yang dimuliakan.

Bib,
berikut ada kutipan hadist yang diberikan seorang salafy kepada
ana, dimana dalil ini dijadikan hujjah untuk menetapkan Allah
boleh bertempat (naudzubillah), mohon kiranya Habib menjelaskan
agar proporsi bisa didudukkan sesuai kadarnya.

Rasulullah SAW pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak
perempuan milik Mua wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian
keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu awiyah :
Artinya :
Beliau bertanya kepadanya : Di manakah Allah ?. Jawab budak
perempuan : Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : Siapakah
Aku ..? . Jawab budak itu : Engkau adalah Rasulullah . Beliau
bersabda : Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu minah
(seorang perempuan yang beriman) .

Mohon dengan sangat bib,,

Jazakallah

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

munzir Re:Masih tentang Mutasyabihat – 2007/10/07 03:59 Alaikumsalam
warahmatullah wabarakatuh,

Cahaya Keberkahan Lailatul Qadr semoga selalu menerangi hari hari
anda dengan kebahagiaan,

Saudaraku yg kumuliakan,
Mengenai ayat mutasyabih yg sebenarnya para Imam dan Muhadditsin
selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat
digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini,
mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yg sedikit
saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan,
seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah
dll yg hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada
benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat
ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan
hadits tersebut.

Sebagaimana makna Istiwa (Innallah alal Arsyi Istawa= Sungguh
Allah Istawa diatas Arsy), yg sebagian kaum muslimin sesat sangat
gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di
Arsy, dengan menafsirkan kalimat ISTIWA dengan makna BERSEMAYAM
atau ADA DI SUATU TEMPAT , entah darimana pula mereka menemukan
makna kalimat Istawa adalah semayam,

padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam
disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash
hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana
Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang,
berarti berwujud seperti makhluk,

sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit
yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana
diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita
memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,

maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah
malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan
terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu
bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin
ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka,
jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah
bertentangan dg hadits qudsiy diatas, yg berarti Allah itu tetap
di langit yg terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan
ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy
mengatakan Allah dilangit yg terendah.

Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika
datang seseorang yg bertanya makna ayat : Arrahmaanu alal
Arsyistawa , Imam Malik menjawab : Majhul, Ma qul, Imaan bihi
wajib, wa su al anhu bid ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak
boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya
tentang ini adalah Bid ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang
jahat, keluarkan dia..! , demikian ucapan Imam Malik pada penanya
ini, hingga ia mengatakannya : kulihat engkau ini orang jahat ,
lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits
Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru
Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu,
kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yg tidak
baik yg mempermasalahkan masalah ini.

Lalu bagaimana dengan firman Nya : Mereka yg berbai at padamu
sungguh mereka telah berbai at pada Allah, Tangan Allah diatas
tangan mereka (QS Al Fath 10), dan disaat Bai at itu tak pernah
teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai at
pada sahabat.

Juga sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman :
Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya,
tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu, dan
Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya
hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi
telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan matanya yg ia
gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk
memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia
meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya…. (shahih Bukhari
hadits no.6137)
Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa
pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yg
taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan
Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya
bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.

Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid
terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.Pendapat Tafwidh ma a tanzih
2.Pendapat Ta wil

1. Madzhab tafwidh ma a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan
menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i tiqad tanzih (mensucikan
Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia
berkata Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna ,
(Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya
bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh
Imam Abu hanifah.

dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang
madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti
para imam yg memegang madzhab tafwidh.

2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg
keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik
untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam
(khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana
Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat
Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur an dan sunnah, juga banyak
dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah
waljamaah.

seperti ayat :
Nasuullaha fanasiahum (mereka melupakan Allah maka Allah pun
lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
dan ayat : Innaa nasiinaakum . (sungguh kami telah lupa pada
kalian QS Assajdah 14).

Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada
Allah walaupun tercantum dalam Alqur an, dan kita tidak boleh
mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada
diri makhluk, karena Allah berfirman : dan tiadalah tuhanmu itu
lupa (QS Maryam 64)

Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt
berfirman : Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk
Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku
menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul Alamin?, maka Allah menjawab
: Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau
menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau
temui Aku disisinya? (Shahih Muslim hadits no.2569)

apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti
sakitnya kita?

Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya
yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit
pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya
pada hamba Nya itu, wa ma na wajadtaniy indahu ya niy wajadta
tsawaabii wa karoomatii indahu dan makna ucapan : akan kau temui
aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku
dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal
125)

Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah
waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta wil, seperti Imam Ibn
Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan
Al Asy ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf ussyubhat Attasybiih
oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia
keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : Maha Suci Tuhan Mu
Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka
sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala
puji atas tuhan sekalian alam . (QS Asshaffat 180-182).
Walillahittaufiq

Forum silahturahmi jama^ah Majelis Rasulullah, klik disini http://
groups.yahoo.com/group/majelisrasulullah

Peduli Perjuangan Majelis Rasulullah saw
No rekening Majelis Rasulullah saw:
Bank Syariah Mandiri
Atas nama : MUNZIR ALMUSAWA
No rek : 061-7121-494

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

Ipoenk Re:Masih tentang Mutasyabihat – 2007/10/09 00:52 Assalamualaikum
warahmatullah..
Semoga cahaya kelembutan dan kasih sayang ALLAH selalu tercurah
kepada Habibana dan seluruh jamaah MR.
Yaa Habibana mengenai pertanyaan Sdr. Qudamah, ana baca di satu
artikel bahrusshofa.blogspot.com seperti ini ; ( dan kami mohon
“Tashiih” dari Habibana )
Antara dalil yang biasa dikemukakan oleh puak hasywiyah bagi
menetapkan Allah bertempat di langit ialah Hadits Jariah. Maka
dijajalah hadits ini ke sana ke mari untuk menegakkan pegangan
mereka bahawa Allah itu mengambil tempat di langit, subhanAllah.
Maka ramai, kalangan awam terpengaruh dengan kalam fahisy mereka
ini, serta beri^tiqad bahawa Allah itu di langit, subhanAllah.
Tidaklah mereka mengetahui bahasan dan penjelasan dan keterangan
daripada para ulama kita berhubung dan mengenai hadits tersebut,
sama ada kerana memang mereka tidak mengetahuinya atau sengaja
buat-buat tak tahu. Ulama-ulama kita sebenarnya telah membahaskan
dengan panjang lebar akan hadits ini dari segala aspeknya, baik
sudut riwayat dan thuruqnya, sehinggalah kepada perbezaan lafaznya
antara satu riwayat dengan riwayat yang lain kerana Hadits Jariah
ini mempunyai riwayat yang berbilang-bilang.

Untuk posting ini aku nukil yang diriwayatkan Imam Muslim dalam
“al-Jami` ash-Shohih” jilid 1, juzuk 2, halaman 70 – 71, kitab
al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi
ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih. Ianya adalah
sebahagian daripada hadits yang panjang yang menceritakan kisah
Sayyidina Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy r.a. mentasymit
seseorang yang bersin ketika bersholat di belakang Junjungan Nabi
s.a.w., lalu selesai sholat dia ditegur oleh Junjungan Nabi s.a.w.
dengan menyatakan bahawa dalam sholat tidak boleh berbicara selain
daripada tasbih, takbir dan pembacaan al-Quran. Setelah itu
Sayyidina Mu`aawiyah telah bertanya beberapa persoalan kepada
Junjungan Nabi s.a.w. dan di antaranya ialah mengenai permerdekaan
seorang hambanya (jariahnya) yang telah ditempelengnya. Untuk
ringkas aku tidak nukilkan keseluruhan hadits tersebut, cuma aku
letakkan di sini bahagian akhirnya berhubung dengan kisah jariah
tersebut.

Pada halaman 71, jilid 1, juzuk 2 kitab tersebut, Imam Muslim rhm.
meriwayatkan, antara lain, sebagai berikut:
” (Telah berkata Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy) Aku mempunyai
seorang jariah yang menggembala kambingku di sebelah bukit Uhud
dan al-Jawwaniyyah. Suatu hari ketika aku menjengoknya, tiba-tiba
seekor serigala telah melarikan seekor kambing dari gembalaannya.
Dan aku sebagai seorang manusia menjadi marah sebagaimana manusia
lainnya, lalu aku menampar mukanya sekali. Kemudian aku mendatangi
Junjungan Nabi s.a.w. dan baginda memandang serius perbuatanku
yang sedemikian (yakni menampar muka si jariah tersebut). Aku
berkata kepada Junjungan Nabi s.a.w.: “Wahai Rasulallah, adakah
kumerdekakan dia”, (yakni sebagai menebus kesilapan menampar tadi,
dia hendak memerdekakan si jariah tersebut) ? Junjungan Nabi
s.a.w. menyuruh agar si jariah didatangkan kepada baginda.
(Apabila si jariah berada di hadapan Junjungan Nabi s.a.w.),
Junjungan Nabi s.a.w. bertanya kepadanya: “Di manakah Allah ?”
Jariah tersebut menjawab: ” Di langit.” Junjungan s.a.w. bertanya
lagi: “Siapakah aku?”, jariah tersebut menjawab: “Engkau
Rasulullah.” Junjungan bersabda: “Merdekakanlah dia, bahawasanya
dia seorang wanita yang beriman.”
Itulah matan hadits mengenai jariah tersebut, manakala di pinggir
atau tepi halaman yang sama tercatat nota tepi seperti berikut:
Perkataannya (yakni perkataan dalam matan hadits) – “Dia (si
jariah) berkata: “Di langit,” – yakni (sebagai membuktikan)
bahawasanya dia bukan termasuk dalam golongan yang menuhankan
selain Allah yang Maha Gagah yang kegagahan dan keperkasaanNya
mengatasi segala hamba dan tidak ada sesuatu pun yang
menyerupaiNya. Dan dikatakan bahawasanya tafsir bagi firman Allah
: “Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang
pusat pemerintahanNya) di langit itu …” (al-Mulk: 16 – Tafsir
Pimpinan ar-Rahman), tafsir “Dia yang di langit” itu ialah Allah
ta`ala dengan takwil kekuasaanNya (yakni ditafsirkan dengan takwil
seperti dikatakan “Allah yang (kekuasaanNya) di langit” atau
“Allah yang (pusat kekuasaanNya atau pemerintahanNya) di langit”,
bukan hanya ditafsirkan dengan semata-mata makna “Allah yang di
langit”)

Sekarang, mari ikhwah lihat apa perkataan Imam an-Nawawi rhm.
berhubung hadits ini. Komentar Imamuna an-Nawawi ini terdapat
dalam syarahnya yang masyhur atas Shohih Muslim iaitu “Shohih
Muslim bi syarhi al-Imam an-Nawawi”, jilid 3, juzuk 5, halaman 24,
di mana Imam an-Nawawi menyatakan, antara lain:-
Sabda Junjungan Nabi s.a.w. (“Di manakah Allah ?” Jariah tersebut
menjawab: ” Di langit.” Junjungan s.a.w. bertanya lagi: “Siapakah
aku?”, jariah tersebut menjawab: “Engkau rasulullah.” Junjungan
bersabda: “Merdekakanlah dia, bahawasanya dia seorang wanita yang
beriman.”). Hadits ini adalah daripada hadits-hadits sifat yang
dalam memahaminya ada 2 mazhab (jalan atau cara) yang mana
kedua-duanya telah dinyatakan terdahulu dalam kitab al-iman (yakni
pada awal atau permulaan kitab).

Jalan yang pertama ialah beriman dengannya (yakni dengan hadits
tersebut) tanpa mendalami apa yang dimaksudkannya disertai dengan
i^tiqad bahawasanya Allah ta`ala itu tidak menyerupai sesuatu apa
pun dan mensucikanNya daripada segala tanda-tanda atau sifat-sifat
makhluk.

Jalan yang kedua pula ialah mentakwilkan hadits tersebut dengan
apa yang layak bagi Allah. Maka sesiapa yang berpegang dengan
jalan yang kedua ini, berpeganglah dia dengan bahawasanya yang
dimaksudkan dengan hadits tersebut ialah Junjungan Nabi s.a.w.
menguji jariah tersebut untuk mengetahui sama ada dia seorang ahli
tawhid yang mengakui Maha Pencipta, Maha Pentadbir dan Maha
Pembuat adalah Allah semata-mata, yang mana Dialah Tuhan yang
apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit
sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan
tidaklah perlakuan sedemikian ini (yakni menghadap ke langit
ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika bersholat) menunjukkan
bahawasanya Allah terbatas di langit sebagaimana juga tidaklah Dia
terbatas pada jihat (arah) kaabah (yakni Allah tidak dibatasi oleh
sebarang tempat kerana Dia Maha Suci daripada segala tempat dan
arah, subhanAllah). Bahkan perbuatan menghadap ke langit itu
adalah kerana langit itu adalah kiblat orang yang berdoa
sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang sholat. Atau si
jariah tadi ialah seorang penyembah segala berhala yang menyembah
berhala-berhala tersebut di hadapan mereka (yakni di sisi atau
bersama mereka di bumi), maka tatkala dia menjawab: “Di langit,”
diketahuilah bahawasanya dia seorang ahli tawhid dan bukannya
seorang penyembah berhala (yakni jika jariah tersebut seorang
penyembah berhala, nescaya dia tidak akan menjawab bahawa Allah
Tuhannya di langit, tetapi dia akan menunjukkan berhala yang
disembahnya yang berada bersamanya di bumi ini).

Telah berkata al-Qaadhi ^Iyaadh: “Tidak ada khilaf di kalangan
umat Islam sekaliannya (qaathibatan), ahli-ahli fiqh mereka,
ahli-ahli hadits mereka, ahli-ahli kalam mereka, para pemuka dan
pengikut mereka bahawasanya segala nas yang pada zahirnya menyebut
Allah di langit seperti firman Allah ta`ala: “Patutkah kamu merasa
aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di
langit itu, menunggang-balikkan bumi menimbus kamu,…..( al-Mulk:
16 – Tafsir Pimpinan ar-Rahman) dan ayat-ayat yang seumpamanya
tidaklah diertikan atau dimaknakan secara zahir bahkan ditakwilkan
di sisi mereka semua (yakni semua umat Islam, salaf dan khalaf
semuanya mentakwilkan nash-nash ayat dan hadits tersebut, cuma
kebanyakan ulama salaf mentakwilkannya secara ijmal sahaja dan
mentafwidhkan makna hakikinya kepada Allah semata-mata,
sekali-kali tidak mereka berpegang dengan makna zahir ayat dan
hadits tersebut, bahkan mereka takwilkan maknanya dengan mengakui
kelemahan fikiran mereka untuk memahami makna hakikinya lalu
mereka mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya serta
menyerahkan bulat-bulat makna dan pengertian ayat atau hadits
tersebut kepada Allah s.w.t. sahaja, manakala kebanyakan ulama
khalaf mentakwilkannya dengan tafshil).

Diharap ikhwah yang budiman boleh memahami akan perkara ini dengan
sebenar-benar faham. Jelas sudah mengikut Imam an-Nawawi yang
menukilkan kalam Qadhi ^Iyaadh yang menyatakan bahawa dengan
ayat-ayat atau hadits-hadits sifat yang mutasyabbihat, maka ianya
ditanggapi dengan 2 cara atau kaedah, iaitu ditakwilkan secara
ijmal dengan mentanzihkan Allah daripada menyerupai makhlukNya
yang baharu dan ditafwidhkan maknanya terus kepada Allah
semata-mata, tanpa sebarang komentar. Ini yang diisyaratkan oleh
Imam Ibnu Hajar al-^Asqalaani yang menyebut dalam “Fathul Bari”
bahawa Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang shohih
daripada Imam Ahmad bin Abi al-Hawaari bahawasanya Imam Sufyan bin
^Uyainah rhm berkata: “Segala sifat yang difirmankan Allah bagi
diriNya dalam al-Quran, maka tafsirannya ialah pembacaan ayat
tersebut dan diam daripada membicarakannya.” Hal ini jugalah
dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam “Fatawa
Haditsiyyah” yang menyatakan bahawa sesungguhnya khilaf ulama
salaf dengan ulama khalaf hanyalah pada penggunaan takwil tafshil
sahaja, di mana ulama salaf lebih mengutamakan takwil secara ijmal
dan mendiamkan diri daripada berbicara lebih lanjut mengenainya
kerana keelokan zaman mereka itu menyebabkan perbahasan panjang
lebar mengenai hal ini tidak diperlukan. Tetapi para khalaf
mengutamakan takwil secara tafshil kerana zaman mereka telah
banyak manusia-manusia yang rosak, ahli-ahli bid`ah dan
sebagainya.

Untuk memperjelaskan lagi, yang dimaksudkan dengan takwil ijmal
itu ialah lencongan makna kalimah dengan ringkas tanpa memberi
erti alternatifnya. Contoh, kalimah al-yad yakni tangan, jika
dikatakan “Tangan Allah atas segala tangan mereka”, maka takwil
ijmalnya ialah kalimah tangan di sini dilencongkan maknanya dari
pengertian biasa sebagai satu anggota atau satu juzuk tubuh badan
kepada makna selain pengertian biasa tersebut, iaitu ianya bukan
membawa erti satu anggota atau satu juzuk daripada Dzat Allah yang
Maha Mulia, tetapi ianya adalah satu sifat yang tidak kita ketahui
akan hakikatnya dan Allah sahaja yang mengetahui hakikatnya. Maka
tangan yang asal maknanya satu juzuk anggota dilencongkan maknanya
kepada satu sifat yang lemah akal kita untuk memahami hakikatnya.
Inilah takwil ijmal perlakuan kebanyakan salaf. Tidaklah mereka
beri^tiqad bahawa Allah itu bertangan dengan tangan yang layak
bagi Dzatnya. Ini bukan i^tiqad para salaf, tetapi i^tiqad
orang-orang yang mengaku salaf zaman ini. Bila salaf kata tangan
Allah, ia merujuk kepada satu sifat dan bukan satu juzuk atau satu
anggota daripada Dzat yang Maha Mulia, subhanAllah, Maha Suci
Allah daripada berjuzuk-juzuk dan beranggota-anggota. Kaedah ini
memang lebih selamat (aslam), kerana hanya Allah sahaja yang Maha
Mengetahui, tetapi bagi kalangan awam yang hanya duduk mendengar –
dengar sahaja mungkin dikhuathiri membawa fitnah kerana awam akan
memahami kalimah tangan itu dengan makna lazim iaitu satu anggota,
lalu beri^tiqadlah si awam bahawa Allah juga beranggota kerana
mempunyai tangan, cuma tanganNya tidaklah seperti tangan makhluk,
iaitu tangan yang layak bagi DzatNya, subhanAllah, ini tidak lain
melainkan i^tiqad hasywiyah dan mujasimah yang mentasybih serta
mentajsimkan Allah, subhanAllah. Oleh itu, apabila sampai zaman
khalaf, di mana manusia-manusia terutama golongan awam sudah
mengutamakan dunia daripada akhirat, di mana banyak juhala`
berbanding ^ulama, maka para Khalaf yang merupakan pewaris para
salaf mentakwilkan ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabbihaat ini
dengan takwil tafshil demi menutup jalan bagi awam untuk berfikir
yang bukan-bukan terhadap Dzat Allah yang Maha Mulia. Maka
ditakwilkan tangan itu kepada kekuasaan dan sebagainya, maka bila
dikatakan “Tangan Allah di atas segala tangan mereka”,
ditakwilkanlah secara tafshil sebagai “Tangan yakni kekuasaan
Allah mengatasi segala kekuasaan mereka”. Maka terhindarlah orang
awam daripada berfikir yang bukan-bukan, oleh itu dikatakan bahawa
jalan khalaf ini lebih ahkam yakni lebih mantap kerana ianya
memantap dan menetapkan pegangan awam serta mencegah mereka
daripada mengkhayal-khayalkan sifat yang tidak layak bagi Allah,
seperti menyerupai akan segala makhluk yang baharu.

Harap segala ikhwan, baik lelaki maupun perempuan, khuntsa pun
jika ada, faham betul-betul akan bahasan ini. Jika masih belum
faham, maka diam itu keselamatan sebagaimana sabdaan Junjungan
Nabi s.a.w. : man shomata najaa (yakni “Sesiapa yang mendiamkan
diri, selamat”), dan duduklah tuan dan puan, sidi dan siti di
hadapan para ulama tuan-tuan guru dengan mengaji menadah segala
kitab peninggalan para ulama salaf dan khalaf. Sesungguhnya ilmu
itu cahaya, bertambah ilmu nescaya bertambah cahaya, insya-Allah,
tapi syaratnya hendaklah ilmu yang naafi` yang bermanfaat, bukan
ilmu semata-mata ilmu untuk berjidal dan bermegah-megah.
Berbalik kepada hadits jariah tadi, maka selain penjelasan di
atas, ada lagi penjelasan dan keterangan lain daripada para ulama
kita dari berbagai aspek bahasannya. Dari semua penjelasan
tersebut, maka mereka menyimpulkan bahawa apa yang dimaksudkan
oleh hadits tersebut bukanlah menetapkan tempat bagi Allah. Oleh
itu, sesiapa yang mengatakan bahawa Allah itu bertempat di sesuatu
tempat seumpama langit, maka menyalahilah dia akan pegangan Ahlus
Sunnah wal Jama`ah, jadi janganlah dok perasan bahawa dirinya
pembela Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Dan tidaklah tepat baginya untuk
menjadikan hadits jariah ini sebagai hujjah untuk mensabitkan
bahawa Allah bertempat di langit. Apatah lagi hadits ini walaupun
shohih tidaklah mencapai darjat mutawatir. Maka apa caranya dia
hendak menjadikan hadits ini sebagai hujjahnya untuk menyesatkan
orang yang tidak sependapat dengan i^tiqad hasywiyahnya itu.
Perkara ini adalah antara kesimpulan yang telah ditekan dan
diperjelaskan oleh mantan Mufti Tunisia, Syaikh Muhammad Mukhtar
as-Salaami (hafizahUllah).

Bahkan, jika dilihat “Shohih Muslim”, kita dapati bahawa Imam
Muslim rhm sendiri tidak meletakkan hadits ini dalam kitab al-iman
atau bab-bab yang berhubung dengan keimanan dan pegangan aqidah
tetapi beliau meletakkannya dalam bab fiqh berhubung hukum hakam
sembahyang iaitu kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab
tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min
ibaahatih (kitab mengenai masjid-masjid dan tempat-tempat
sembahyang, bab haram berkata-kata dalam sembahyang serta
menasakhkan riwayat yang mengharuskan berkata-kata dalamnya). Maka
isyaratnya ialah hadits ini hanyalah untuk dijadikan hujjah dalam
bab-bab fiqh semata-mata. Menjadikannya sebagai hujjah dalam
mensabitkan secara qathi`e akan usul aqidah menunjukkan lemahnya
si penghujjah itu daripada memahami uslub dan kaedah dalam
menetapkan ^aqidah pegangan umat ini. Oleh itu, jika datang kepada
ikhwah akan orang yang hendak berhujjah untuk menetapkan Allah
bertempat di langit dengan hadits ini, maka katakanlah kepadanya
dengan lemah-lembut dan elok perkataan “keribang rebus, pegi
belajar lagik…..” dengan nada yang lemah
lembut….hehehe….jangan marah noooo…. melawak jee.

Allahu a^lam

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

munzir Re:Masih tentang Mutasyabihat – 2007/10/09 02:02 terimakasih atas
artikelnya, dan penjelasan saya diatas telah jelas dan tidak jauh
berbeda.

Alhamdulillah.

Forum silahturahmi jama^ah Majelis Rasulullah, klik disini http://
groups.yahoo.com/group/majelisrasulullah

Peduli Perjuangan Majelis Rasulullah saw
No rekening Majelis Rasulullah saw:
Bank Syariah Mandiri
Atas nama : MUNZIR ALMUSAWA
No rek : 061-7121-494

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

NURYADIN Re:Masih tentang Mutasyabihat – 2007/10/09 18:58 Oke, intinya
ketika orang2 Salafi dan Wahhabi menafsirkan hadits itu demikian,
maka sebagai konsekwensinya, mereka juga harus menafsirkan bahwa
Allah itu ada di Ka^bah, atau Allah itu ada di Masjid. Ingatlah
bahwa Masjid itu adalah Baitullah (Rumah Allah). Jadi mereka harus
tafsirkan juga bahwa Allah itu tinggalnya di Masjid sebagaimana
kita tinggal di rumah kita. Jika demikian tafsiran mereka, maka
jelaslah kerusakan aqidah mereka.

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

munzir Re:Masih tentang Mutasyabihat – 2007/10/15 12:49 saya senang
dengan ucapan Imam Malik yg saya nukil diatas :
Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika
datang seseorang yg bertanya makna ayat : Arrahmaanu alal
Arsyistawa , Imam Malik menjawab : Majhul, Ma qul, Imaan bihi
wajib, wa su al anhu bid ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak
boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya
tentang ini adalah Bid ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang
jahat, keluarkan dia..! , demikian ucapan Imam Malik pada penanya
ini, hingga ia mengatakannya : kulihat engkau ini orang jahat ,
lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits
Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru
Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu,
kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yg tidak
baik yg mempermasalahkan masalah ini (wahabi).

wallahu a^lam

Forum silahturahmi jama^ah Majelis Rasulullah, klik disini http://
groups.yahoo.com/group/majelisrasulullah

Peduli Perjuangan Majelis Rasulullah saw
No rekening Majelis Rasulullah saw:
Bank Syariah Mandiri
Atas nama : MUNZIR ALMUSAWA
No rek : 061-7121-494

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=8330

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments