Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, Rahmat dan kebahagiaan semoga selalu menyelimuti hari hari anda
Saudaraku yg kumuliakan,
beribu maaf selama 10 hari saya tidak online hingga tak bisa menjawab pertanyaan anda
1. Masalah lafadh niat itu adalah demi Ta’kid saja, (penguat dari apa yg diniatkan), itu saja, berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
2. ucapan ucapan itu boleh saja dilakukan dan boleh tidak, karena tak ada perintah dalam hadits beliau saw yg menjelaskan kita harus memanggil dg Sayyidina atau lainnya.
maka menambahi nama sahabat dg Radhiyallahu 'anhu pun boleh atau boleh pula tidak, atau saat shalat kita membaca surat dan menyebut nama para nabi, maka boleh mengucapkan / menambahkan alaihissalam, namun yg jadi masalah adalah mereka yg "tak mau" atau bahkan "melarang" menyebut sayyidina pada para sahabat bahkan pada Rasul saw
karena Rasul saw memperbolehkannya, sebagaimana sabda Beliau saw : "janganlah kalian berkata : beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb mu (Rabb juga bermakna pemilik, ucapan ini adalah antara budak dan tuannya dimasa jahiliyah), tapi ucapkanlah (pada tuan kalian) Sayyidy dan Maulay (tuanku dan Junjunganku), dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka : wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu" (shahih Bukhari hadits no.2414) hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no.2249.
maka jelaslah bla budak saja diperbolehkan mengucapkan hal itu pada tuannya, bagaimana kita kepada sahabat yg mereka itu adalah guru guru mulia seluruh muslimin, sebagaimana ucapan yg masyhur dikalangan sahabat : "aku adalah budak bagi mereka yg mengajariku satu huruf", atau hadits Nabi saw yg bersabda : "bila seseorang telah mengajarkanmu satu ayat maka engkau telah menjadi budaknya" maksudnya sepantasnya kita memuliakan guru guru kita, lebih lebih lagi para sahabat, karena par sahabat sendiri satu sama lain mengucapkan
Rasul saw bersabda dihadapan para sahabat seraya menunjuk Hasan bin Ali ra anhuma : "sungguh putraku ini (hasan bin Ali) adalah Sayyid, dan ia akan mendamaikan dua kelompok muslimin" (shahih Bukhari hadits no.3430, juga dg hadits yg semakna pada hadits no.2557)
berkata Umar bin Khattab ra kepada Abubakar shidiq ra : "aku membai'atmu, engkau adalah sayyiduna, wa khairuna, wa ahibbuna" (engkaulah pemimpin kami, yg terbaik dari kami, dan yg tercinta dari kami). (shahih Bukhari hadits no.3467)
Umar ra berkata kepada Bilal dg ucapan sayyidina. (shahih Bukhari hadits no.3544).
dan masih banyak lagi dalil dalil shahih mengenai hal ini.
3. Mengenai Qunut, memang terdapat Ikhtilaf pada 4 madzhab, masing masing mempunyai pendapat, sebagaimana Imam Syafii mengkhususkannya pada setelah ruku pada rakaat kedua di shalat subuh.., dan Imam Malik mengkhususkannya pada sebelum ruku pada Rakaat kedua di shalat subuh (Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughulmaram Bab I),
mengenai Qunut dengan mengangkat kedua tangan telah dilakukan oleh Rasul saw dan para sahabat, maaf saya tak bisa menyebut satu persatu, namun hal itu teriwayatkan pada : Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf'ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi.
4. mengenai menempelkan kaki dan kerapatan shaf mengenai hadits hadits nya adalah hadits hadits shahih, dan sangat banyak teriwayatkan dalam shahihain Bukhari dan muslim, saya tak mungkin menyebutkannya satu persatu, namun keberadaannya adalah sunnah, bukan rukun shalat, maka jika shaff shalat tidak rata dan teratur maka shalatnya tetap sah namun merupakan hal yg makruh, telah berkata demikian Al Hafidh Al Imam Ibn Rajab bahwa meratakan shaff adalah hal yg merupakan bentuk kesempurnaan shalat (Fathul Baari li Ibn Rajab Bab Shalat Juz 5 hal.142)
namun Imam Ibn Rajab menjelaskan pula mengenai pendapat Imam Bukhari bahwa mereka yg tak meratakan shaf itu berdosa, maka Imam Ibn Rajab menjelaskan bahwa yg dimaksud adalah jika mereka menolak dan tidak mau (bukan tak sengaja) untuk meratakan shaf nya (Fathul Baari li Ibn Rajab Bab shalat Juz 5 hal 143)
demikian pula dijelaskan oleh Imam Ibn Batthal dalam kitabnya, bahwa meratakan shaff merupakan salah satu dari sunnah nya shalat, dan tidak melakukannya tidak membatalkan shalat (Sharah Shahih Bukhari li Ibn Batthal Juz 3 hal 424).
Walaupun ada ikhtilaf dalam hal ini,
mengenai Isbal (tidak membuat pakaian menjela/memanjang dibawah mata kaki) adalah sunnah Rasul saw dalam sholat dan diluar shalat, demikian disebutkan dalam hadits Shahih dalam kitab Syama'il oleh Imam Tirmidzi,dan bukanlah merupakan hal yg wajib, sebagaimana difahami dari matan hadits bahwa hal itu adalah wajib namun Ijma' ulama sepakat bahwa hal itu adalah sunnah mu'akkadah.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
Wallahu a'lam