hukum menerima fatwa –

0

Forum Majelis Rasulullah

abiesuman hukum menerima fatwa – 2009/03/26 12:16 Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh..

habibana, saya mau bertanya mengenai:

1. Bagaimana hukum dalam menerima fatwa? apakah wajib diikuti?

2. Bagaimana jika banyak ulama bertentangan dalam memberikan
fatwa, dimana fatwa2 mereka saling bertentangan.. padahal masih
didalam kaidah ushul fiqh dalam mazhab yang sama..? saya melihat
dalam Al majmu, imam Nawawi banyak membedah banyak perbedaan
fatwa2 ulama mazhab Syafi^i.. Lalu beliau mentarjih pendapat
terkuat.
Apakah lalu kita harus mengikutinya?

3. Bagaimana dengan kaidah fiqh, “mempermudah bukan mempersulit”?
Dapatkah kita terapkan dalam mengambil fatwa? dalam artian kita
mengikuti fatwa yang paling memudahkan syariat?

4. Adakah dizaman sekarang, seorang imam yang diakui secara mutlak
bahwa fatwa2nya patut diikuti? bagaimana pendapat habibana
mengenai Dr. Yusuf Qaradhawi?

5. Bagaimana pendapat habibana dengan mengikuti fatwa ulama dari
mazhab lain? Misalnya seorang bermazhab Syafi^i mengikuti fatwa
ulama mazhab hambali, atau hanafi?

Terima kasih..

mohon penjelasan dari Habibana..

jazzakullah.

Wass

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

munzir Re:hukum menerima fatwa – 2009/03/26 12:55 Alaikumsalam
warahmatullah wabarakatuh,

Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda
dg kebahagiaan,

Saudaraku yg kumuliakan,
1. bisa wajib, bisa sunnah, bisa mubah, bisa makruh, bisa haram

2. anda hendaknya berpegang pada guru, bukan pada buku, karena
buku akan membingungkan anda, tanyakan pada guru mengenai fatwa
fatwa tsb, dan guru anda akan memberikan kejelasan gamblang
tentang makna masing masing fatwa tsb.

fatwa Imam Nawawi lebih banyak diikuti oleh para salafusshalih,
sebenarnya bukan mentakhrij, tapi memperjelas, karena fatwa Imam
Syafii sangat tinggi dan kalau bukan para mufti akan
terbingungkan,

misalnya datang seorang miskin kepada Imam Syafii, wahai Imam, aku
berjimak dg istriku disiang hari bulan puasa, apa kafaratnya?,
imam syafii berkata : beri makan orang miskin 60 orang.

lalu datang orang kedua seorang kaya raya : wahai Imam aku
berjimak dsg istriku disiang hari bulan ramadhan, apa kafaratnya?,
Imam Syafii menjawab : puasa 60 hari berturut turut.

maka murid murid Imam syafii bertanya : wahai Imam, orang pertama
kau jawab memberi makan 60 orang miskin, orang kedua kau katakan
60 hari puasa, padahal keduanya boleh, karena Rasul saw bersabda
mereka yg berjimak dg istrinya di siang hari bulan ramadhan maka
baginya puasa 60 hari, atau mrmberi makan 60 orang miskin, kenapa
kau tak jelaskan itu dan memotongnya sebagian saja?

Imam Syafii menjawab : orang pertama adalah orang msikin, mudah
baginya puasa 60 hari, mungkin setiap haripun ia hanya makan
sekali, maka ia akan sering berjimak dg istrinya di siang hari
ramadhan, karena mudah baginya hal tsb, maka kukatakan harus
memberi makan 60 orang miskin, agar ia jera

sedangkan orang kedua adalah orang kaya raya, jika kukatakan
padanya kafaratnya memberi makan 60 orang miskin maka ia akan
jimak dg istrinya setiap hari, dan cukup memberi makan 6000 orang
miskin pun ia mampu, maka kukatakan puasa 60 hari, agar ia jera.

demikian fatwa fatwa Imam syafii, jika orang mengambilnya sepotong
sepotong ia akan terjebak, maka Imam Nawawi memperjelasnya dan
mempermudahnya untuk kita.

3. betul namun jangan keluar dari batas mubah.

4. Dr Yusud Qaradhawi bukan ulama yg diakui handal, ia bukan
mufti, bukan pula Almusnid, bukan pula ALhafidh, ia hanya menukil
dari buku buku dan tak mempunyai sanad kepada paraa Muhadditsin,
maka fatwanya batil dan pendapatnya dhoif tak bisa dijadikan
rujukan hukum.

5. semua madzhab berlandaskan hadits shahih dan syariah yg kuat,
namun tidak layaknya seseorang berpindah pindah madzhab,mengenai
keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan
syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru
mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga
Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan sebagaimana orang
orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu
berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,

anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila
kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi,
dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya
kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan
dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yg
gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung
memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain, hal ini
adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan
kondisi masyarakat.

memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa
Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa apa yg mesti ada
sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib
hukumnya.

misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja,
namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada
hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya
membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena
perlu untuk shalat yg wajib.

demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab,
namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab,
dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak
mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam
muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,

karena kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali
dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi
wajib hukumnya.

Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang
berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu
di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan
shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd
bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau
bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan
maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab
malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki
mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya
mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu
dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka
bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam
madzhab syafii.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yg mengatakan
bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yg akan bertanggung jawab atas
wudhunya?, ia butuh sanad yg ia pegang bahwa ia berpegangan pada
sunnah nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii
atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang
pada salah satunya sebagaimana contoh diatas..

dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai
situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya
ia berkeras kepala dg madzhab syafii nya,

demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafi
iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
semoga sukses dg segala cita cita,

Wallahu a^lam

↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓

sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=21377

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments