dediaradea HUKUM BERMADZHAB – 2007/04/10 02:04 ASS WR WB
Syukron hamdan lillah wa shalatan wa salaman a^al rasulillah amma
ba^du
ma^dziroh Habib kaifa hal ?
pertama salam tadzhim wal ihtirom untuk Habib semoga tetap dalam
lindungan Allah SWT, dan senantiasa memberika ilmu ilmu yang
bermanfaat
Afwan Katsir sebelumnya, ana membaca terkait pendapat Habib yang
mengatakan bermadzhab itu wajib, sedangkan yang ana ketahui (
afwan katsir Bib ) tidak ada penjelasan dari rasul, sahabat, atau
fatwa ulama berkaitan wajibnya bermadzhab,
Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada
satu mazhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan
agar kita tidak terlalu mudah bergonta-ganti mazhab. Bahkan ada
juga yang sampai melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu
umumnya ulama tidak sampai mewajibkannya.
1. Mereka yang Mengharuskan
Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu mazhab adalah
agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab
tiap-tiap mazhab dihasilkan dari suatu logika ijthad yang
sistematis, teratur dan runtut. Sehingga menurut pendapat ini,
kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil ijtihad
yang metologinya saling berbeda.
Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk
tiap-tiap ijtihad. Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam
kelompok in berpendapat tidak bolehnya bergonta-ganti mazhab.
2. Mereka yang Tidak Mengharuskan
Sedangkan pendapat yang berlawanan mengatakan sebenarnya kalau
diteliti lebih dalam, tidak ada kewajiban dari nash baik Quran
maupun sunnah yang mengharuskan hal itu. Umumnya para ulama
mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih mazhab mana yang
ingin dipegangnya. Termasuk bila seseorang harus berganti mazhab
berkali-kali.
Dalilnya adalah bahwa dahulu Rasulullah SAW tidak pernah
mewajibkan untuk bertanya kepada satu orang shahabat saja. Tetapi
siapa saja dari shahabat yang punya pengetahuan tentang suatu
masalah, boleh dijadikan rujukan. Sebagaimana firman Allah:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui. (QS An-Nahl: 43)
Ayat ini tidak mewajibkan bila sudah bertanya kepada satu orang,
maka tidak boleh lagi bertanya kepada orang lain. Ayat ini hanya
mensyaratkan bahwa kita wajib bertanya kalau tidak tahu, agar
dapat beribadah dengan benar. Namun tidak boleh bertanya kepada
sembarang orang, harus kepada ahluz-zikr, yang diterjemahkan
sebagai ulama, fuqaha^ ahli ilmu syariah yang kompeten dan
benar-benar menguasai bidangnya. Tapi tidak mengharuskan hanya
pada satu orang saja.
Bagaimana dengan Kita?
Di tengah beda pendapat antara dua ^kubu^ ini, kami lebih
cenderung kepada pendapat yang memudahkan. Yaitu pendapat yang
intinya tidak bikin susah seorang yang ingin menjalankan agamanya.
Dan kondisi bisa saja berbeda-beda untuk tiap orang.
Di tempat tertentu, ada mungkin seorang ^alim yang sangat
menguasai ilmu agama dalam versi mazhab tertentu. Boleh dibilang
bahwa dalam semua masalah agama, beliaulah satu-satunya rujukan
yang ada. Meski ilmunya hanya dengan satu paham mazhab saja. Maka
seorang muslim awam boleh bertanya kepada beliau dan menjadikannya
sebagai rujukan dalam masalah agama.
Tidak ada kewajiban bagi si awam ini untuk melakukan konsultasi
silang kepada ulama lain yang tidak terjangkau baginya. Asalkan si
^alim itu memang seorang yang menguasai masalah fiqih, cukuplah
bagi masyarakat di sekitarnya menjadikan pendapat-pendapat beliau
sebagai rujukan. Atau dalam bahasa lainnya, bertaqlid kepadanya.
Tetapi bertaqlid di sini bukan kewajiban, melainkan justru
memudahkan. Sifatnya bukan keharusan, tetapi kebolehan.
Di tempat lain boleh jadi ada surplus ulama, misalnya di situ
berkumpul beberapa ulama dari beberapa mazhab yang saling. Maka
buat orang-orang awam yang tinggal di tempat itu, boleh saja
mereka berguru kepada masing-masing ulama dari beberapa mazhab
itu. Tidak ada keharusan untuk ^selalu setia sepanjang masa^ dalam
menjalankan pendapat dari ulama tertentudari mereka. Sebagaimana
juga tidak ada larangan untuk tetap setia kepada satu saja dari
mereka.
Ini yang kami maksud dengan prinsip yang memudahkan. Bila di suatu
tempat hanya ada satu ulama, kita boleh bermazhab satu saja, tidak
wajib berpindah-pindah mazhab. Karena pindah-pindahitu justru
menyulitkan.
Sebaliknya, bila di suatu tempat ada banyak sumber ilmu dari
beragam mazhab, boleh-boleh saja untuk membandingkannya dan
memilih pendapat yang menurut kita paling kuat dalilnya. Tetapi
juga tidak ada larangan untuk tetap berpegang saja pada satu
mazhab, meski di sekeliling terdapat banyak mazhab lain.
Artinya, yang mana saja yang kita ikuti, selama suatu pendapat
keluar dari seorang ulama yang kompeten dalam masalah istimbath
hukum fiqih, silahkan saja. If^al-wa laa haraj, lakukan dan tidak
ada keberatan.
Dalam Satu Mazhab Bisa Saja Ada Banyak Pendapat
Apa yang kami sampaikan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa di
dalam satu mazhab pun sangat mungkin terjadi perbedaan-perbedaan
lagi.
Kalau kita umpamakan, anggaplah ada mazhab 1, 2, 3 dan 4. Terhadap
suatu masalah, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat di antara
keempat mazhab itu. Tapi kalau kita teliti di mazhab 1, ternyata
masih ada perbedaan lagi.
Kita misalkan ada tiga pendapat yaitu pendapat a, b dan c. Di
dalam mazhab 2, juga adalagi berpedaan pendapat, yaitu pendapat a,
b dan c. Bukan itu saja, ternyata di dalam mazhab 3 ada juga
perbedaan pendapat yaitu pendapat a, b dan c. Demikian juga di
dalam mazhab 4, ada tiga pendapat yang berbeda, yaitu pendapat a,
b dan c.
Maka kita akan punya 12 pendapat yang berbeda-beda, bukan hanya 4
pendapat saja.
Dan sangat boleh jadi, pecahan pendapat dari suatu mazhab justru
punya kesamaan dengan pecahan pendapat dari mazhab lainnya.
Misalnya, pendapat mazhab 1b sama dengan pendapat mazhab 3c.
Pendapat mazhab 4 d sama dengan pendapat 2 d.
Kalau sudah begini, bagaimana kita mengatakan bahwa kita wajib
berpegang teguh hanya pada satu mazhab saja? Padahal di dalam
mazhab itu ada begitu banyak variasi pendapat?
Pendapat Suatu Mazhab Mungkin Saja Dikoreksi
Berpegang hanya pada satu mazhab saja ternyata tidak terlalu
mudah. Sebab boleh jadi pendapat dalam satu mazhab berganti-ganti.
Jangan dibayangkan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad dari suatu mazhab
bersifat mutlak dan tidak bisa diubah lagi. Sebagian dari hasil
ijtihad mazhab-mazhab itu sangat mungkin untuk dikoreksi dan
diubah oleh ulamanya.
Ambillah contoh Al-Imam As-Syafi^i rahimahullah, yang punya dua
versi dalam mazhabnya, yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Sebagai
contoh aplikatif, dalam qaul qadim-nya beliau berpendapat bahwa
tayammum itu harus mengusapkan debu ke kedua tangan hingga kedua
tapak tangan saja, tidak perlu sampai siku seperti dalam wudhu.
Namun dalam qaul jadid-nya, beliau mengoreksi hasil ijtihadnya dan
mengatakan bahwa mengusapkan debu ketika tayammum harus sampai ke
kedua siku, sebagaimana dalam wudhu^.
Orang Awam Bingung Pengelompokan Berdasarkan Mazhab
Dan yang paling menjadi hujjah tidak harusnya kita berpegang pada
satu mazhab saja adalah bahwa kita sulit mengidentifikasi suatu
pendapat itu merupakan produk mazhab mana.
Khususnya hal ini terjadi di wilayah di mana syariat Islam tidak
diajarkan berdasarkan satu mazhab saja. Seperti yang umumnya
dialami oleh muslim perkotaan. Sebab mereka punya akses yang
begitu banyak, akibat padatnya arus informasi beragamnya
kemungkinan akses kepada beragam ilmu syariah.
Kalau kita wajibkan mereka bermazhab dengan satu mazhab saja,
justru menyulitkan, sebab mereka justru tidak tahu, detail-detail
ibadah mereka itu sesuai dengan mazhab yang mana.
Apakah dalam keadaan demikian kita mengatakan bahwa sebelum
menjalankan shalat, seseorang diwajibkan mencari runtutan
identitas mazhabnya? Apakah kita akan bilang shalatnya tidak sah
kalau tidak tahu versi mazhabnya?
Tentu hal ini justru sangat memberatkan dan jadi beban tersendiri.
Sebab adanya mazhab-mazhab ulama justru untuk memudahkan orang
awam, sehingga tidak perlu lagi mereka direpotkan untuk berijtihad
sendiri. Sesuatu yang boleh dibilang mustahil buat orang awam,
mengingatkan syarat bolehnya berijtihad itu lumayan berat.
Syariah itu jadi mudah dengan adanya mazhab, bukan untuk bikin
susah.
Syukron Jazila, Semoga Habib selalu di berikan kesehatan oleh
Allah SWT
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
munzir Re:HUKUM BERMADZHAB – 2007/04/10 23:13 Alaikumsalam warahmatullah
wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan rahmat Nya swt semoga selalu tercurah
pada hari hari anda,
saudaraku yg kumuliakan,
mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah
bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru
mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad
mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw,
bukan orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan
lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,
anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila
kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi,
dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya
kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan
dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yg
gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung
memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain,
hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat
dan kondisi masyarakat.
memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa
Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib.
yaitu apa apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg
wajib, menjadi wajib hukumnya.
misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja,
namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada
hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya
membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena
perlu untuk shalat yg wajib.
demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab,
namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab,
dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak
mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam
muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,
karena kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali
dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi
wajib hukumnya.
dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai
situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya
ia berkeras kepala dg madzhab syafii nya,
demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab
syafiiyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab
lain.
demikian saudaraku yg kumuliakan.,
wallahu a^lam
Forum silahturahmi jama^ah Majelis Rasulullah, klik disini http://
groups.yahoo.com/group/majelisrasulullah
Peduli Perjuangan Majelis Rasulullah saw
No rekening Majelis Rasulullah saw:
Bank Syariah Mandiri
Atas nama : MUNZIR ALMUSAWA
No rek : 061-7121-494
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=3309