Forum Majelis Rasulullah
ahmed2010 hadist – 2008/12/29 18:03 Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
maaf Tuan Guru ana minta penjelasan mengenai hadist berikut ini
dan derajat hadistnya
Sabda Rasulullah s.a.w:
Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali katanya: Berkumpul-kumpul pada
ahli mayat
serta membikin makanan-makanan sesudah mayat dikuburkan, kami
anggap sebahagian
dari meratap. {sama hukumnya dengan meratap,iaitu haram].Riwayat
Ahmad dan Ibnu
Terima kasih Banyak Tuan Guru
Salam ta^zim Hamba
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
munzir Re:hadist – 2008/12/31 04:44 Alaikumsalam warahmatullah
wabarakatuh,
Rahmat dan Kebahagiaan Nya semoga selalu menerangi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
saya akan jelaskan namun hal ini telah saya jelaskan dg panjang
lebar, berikut jawaban saya yg lalu tentang masalah ini :
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu
tercurah pada hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu
tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah
pada muslimin?,
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله
إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن
تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi
saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah
meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara
mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas
namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh (Shahih Muslim hadits
no.1004).
Berkata Al Hafidh Al Imam Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك
باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas)
menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan
pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma
(sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas
sampainya doa doa (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal
90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud
bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala
sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg
kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk
si mayyit, maka hal ini sunnah.
Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan
khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak
mengharamkan itu :
Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala
dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya
tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi
mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah,
berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan
tidak sampai makruh apalagi haram, dan yg dimaksud adalah
mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan
(ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah
jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan
Jamuan, hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar
semacam pesta yg menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi
pada tahlilan manapun dimuka bumi, yg ada adalah sekedar besek
atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue kue atau nasi
sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada
pengunjung hukumnya sunnah.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang
adalah hal Bid ah Munkarah yg makruh (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg
menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh
berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang,
yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang
agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid;ah
buruk yg makruh.., bukan haram, jika haram maka ia akan
menyebutnya : Bid ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan
Bid ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi
tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai
penjelas bahwa hal itu bukan haram,
Entahlah para wahabi itu tak faham bahasa atau memang sengaja
menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu
tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat
menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para
Imam, dam hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yg
dangkal dalam pemahaman syariahnya,
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan
Ittikhadzuddhiyafah , ini maknanya membuat perjamuan besar ,
misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya
dalam pilkada dengan Ittikhadzuddhiyafah yaitu mengadakan
perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan
beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan
dimasa jahiliyah
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam
hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid ah yg makruh.
(Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas,
yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau
mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang orang
wahabi menafsirkan kaliamt makruh adalah hal yg dibenci, tentu
mereka salah besar, karena imam imam ini berbicara hukum syariah
bukan bicara dicintai atau dibenci.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat
istiadat baru berupa Wahsyah yaitu adat berkumpul dimalam
pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal
ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah
sengaja membuat acara jamuan makan demi mengundang tamu tamu,
ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru
diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya
bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah
yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg
memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan.
Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan
merengut sambil berkata haram..haram dirumah duka (padahal
makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan
dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana
tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak
datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota
misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah
dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk
airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan
sangat membuat mereka malu.
didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah,
Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna,
yaitu yutsab ala fi lihi walaa yu aqabu alaa tarkihi (diberi
pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal
yg bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak
mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak
payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan
berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak
mengatakannya,
Dan mengenai kata Bid ah sebagaimana mereka menukil ucapan Imam
Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda
dengan BID AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat Bid ah
terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram
(rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),
maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami
dulu apa maksud bid;ah dalam ta;rif Imam Nawawi, barulah bicara
fatwa Bid ah oleh Imam Nawawi,
bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid ah itu ada yg Mubah
dan yg makruh, maka ucapan Bid ah Ghairu Mustahibbah bermakna
Bid;ah yg mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi berkata Bid ah Muharramah (Bid ah yg
haram).
Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka
hukumnya antara Mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid ah
Munkarah Makruhah, (Bid ah tercela yg makruh), karena Bid;ah
tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg
padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan
atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid ah
buruk (munkarah) yg makruh, tidak haram untuk memakainya shalat,
tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun
Bid;ah buruk yg makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.
Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh,
hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu aqabu ala fi lihi (mendapat
pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),
Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang
orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم
وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh,
karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan
meniru niru perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)
Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى
والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu
diperbolehkan, karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka
ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan
menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka
mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215)
(disini hukumnya berubah, yg asalnya makruh, menjadi Mubah bahkan
hal yg mulia, karena tamu yg berdatangan dari jauh, maka jelaslah
kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka
dan kebutuhan tamu,
Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat
jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang
tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama
mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin
menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya, Bukan kebuli
dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang maka riwayat
dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :
dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : Ketika Umar ra ditusuk dan
terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan
untuk orang orang (AL Hafidh Al Imam Ibn Hajar pd Mathalibul
Aliyah Juz 1 hal 199 no.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)
dari Thaawus ra : Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7
hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang orang
selama hari hari itu (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar
pd Mathalibul Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanad nya Kuat
mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka
telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : Buatlah untuk
keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yg
membuat mereka sibuk (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy no.998
dg sanad hasan, dan di Shahih kan oleh Imam Hakim Juz 1/372)
demikian pula riwayat shahih dibawah ini ;
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل
للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ
بالطعام ووضعت الموائد ، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال
العباس بن عبد المطلب : أيها الناس ! إن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا
وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد
العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada
Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama
3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketikan hidangan
hidangan ditaruhkan, orang orang tak mau makan karena sedihnya,
maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin..,
sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum
setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum
sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yg mesti, maka makanlah
makanan ini..! , lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan,
maka orang orang pun mengulurkan tangannya masing masing dan
makan.
(Al fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul
ummaal fii sunanil aqwaal wal af al Juz 13 hal 309, Thabaqatul
Kubra Li Ibn Sa d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al
Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dg masakan yg
dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yg
mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya
Makruh.
2. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit
hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita
mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku
mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab
: Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322), bukankah wanita ini
mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,
3. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat
kematian adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh,
atau kopi sederhana.
4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang
begitu saja dg tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah,
atau uang, atau makanan.
5. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena
tak ada yg mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yg akan
saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan tuk menjamu
tamunya jika ia wafat
6. boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau
ketring untuk menyambut tamu tamu, karena pelarangan akan hal
itulah yg akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan
merepotkan mereka.
7. makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan
demi menyambut tamu dirumah duka
—
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I^anatutthaalibin, yg
diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar),
sebagaimana dijelaskan “Syara^a lissurur”, yaitu jamuan makan
untuk kegembiraan,
namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor
kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing
selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada
larangannya, bahkan mendapat pahala.
—
MENGIRIM PAHALA DAN BACA^AN KEPADA MAYIT
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1
hal 90 menjelaskan :
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع
بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة
أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه
بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب
والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة
والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت
الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له
الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم
محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء
الله تعالى
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى
الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء
الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة
وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر
من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن
أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال
الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا
المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد
البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد
من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج
فانها تصل
Berkata Imam Nawawi : Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah
ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal
sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada
mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf
diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg
diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy
Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam
wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah
wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara
jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash
nash dari Alqur an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu
ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab
Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali
shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh
wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal
ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal
ini tak sampai, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan
hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah
Ta ala.
Mengenai pahala Alqur an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab
Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari
sahabat sahabat Syafii yg mengatakannya sampai, dan sebagian besar
ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam
ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur an, ibadah dan yg
lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab :
Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar bahwa Ibn Umar
memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang
shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan
dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah
dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya
shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa ad Abdullah bin Muhammad bin
Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi
dengan ucapan : kalangan kita maksudnya dari madzhab syafii) yg
muta akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa
Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan
diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita
dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi
satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal)
dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas
Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih)
bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama.
(Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini
ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak
sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih
masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg
mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai,
berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan
sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar
ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan
gunting tambal , mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu
ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan
buktikan kelicikan mereka :
Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء
وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع
ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على
الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح
جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من
أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat
bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini
pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah
sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk
mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula
haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg
sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita
(Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg
lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits
shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur an tidak
sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian
dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin
Hanbal berpegang pada yg membolehkannya (Syarh Imam Nawawi ala
shahih Muslim Juz 7 hal 90)
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم
المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال
اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة
وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا
أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال
له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا
عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه
أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن
عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
Tidak ada larangannya membaca Alqur an dikuburan , dan telah
diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah
ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah,
sungguh pahalanya untuk ahli kubur .
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur an di kuburan adalah Bid
ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul
riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka
berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah
(nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir
(seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan
terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh
Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat
agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn
Umar berwasiat demikian pula! , maka berkata Imam Ahmad : katakana
pada orang yg tadi kularang membaca ALqur an dikuburan agar ia
terus membacanya lagi.. .
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو
صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك
إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي
وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد
بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا
ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى
الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله
إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت
بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على
استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر
الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب
والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada
orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau
Bacaan Alqur an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh
untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya
mengatakan pahala pembacaan Alqur an tidak sampai, namun Imam
Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok
besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian
dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : tidak
sampai pahala bacaan Alqur an dalam pendapat kami yg masyhur, dan
maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk
memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena
bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu
dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh
tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu
sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga
dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini
dengan hadits yg sangat banyak (Naylul Awthar lil Imam
Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu Syarh Muhadzab lil Imam
Nawawiy Juz 15 hal 522).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg
mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan,
ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur an tidak sampai,
namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk
disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma
awshil, tsawabaa maa qaraa naa minalqur anilkarim dst (Wahai
Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur
anulkarim dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh
Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak
adapula yg mengatakannya tak sampai.
kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa
Imam Bukhari, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari,
bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi, saya mempunyai sanad guru
kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii, maka
saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.
demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tak bersanad kepada
buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh Buku
buku, namun acuan utama adalah pada guru yg mempunyai sanad.
kasihan mereka mereka yg keluar dari ahlussunnah waljamaah karena
berimamkan buku,
agama mereka sebatas buku buku, iman mereka tergantung buku, dan
akidah mereka adalah pada buku buku.
jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam
Nawawi, Imam Nawawi bertawassul pada nabi saw, Imam nawawi
mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam
pada nabi Muhammad saw,
ia memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para
ulama ahlussunnah waljamaah.
Sabda Rasulullah saw : Sungguh sebesar besar kejahatan muslimin
pada muslimin lainnya, adalah yg bertanya tentang hal yg tidak
diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena
pertanyaannya (shahih Muslim hadits no.2358)
—-
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a^lam
Forum silahturahmi jama^ah Majelis Rasulullah, klik disini http://
groups.yahoo.com/group/majelisrasulullah
Peduli Perjuangan Majelis Rasulullah saw
No rekening Majelis Rasulullah saw:
Bank Syariah Mandiri
Atas nama : MUNZIR ALMUSAWA
No rek : 061-7121-494
↓ =ARSIP-nickname=topick=date→importby:carauntuk.com→for-educational-purpose= ↓
sumber
http://arsip.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=20388