khunthai
|
al umm ttg tahlilan – 2008/11/27 09:18Assalamu'alaikum wrwb.
Mohon maaf yaa habibana, ini mungkin merepotkan. Saya mendapat artikel jawaban tentang tahlilan yg mengutip pendapat imam syafi'i. Terus terang ini membuat bingung. MOhon habib memberikan penjelasan mengenai kutipan al Umm imam Syafi'i ini,
Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :
Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas, beliau menerangkan bahwa berkumpul di rumah ahli mayit (meskipun menurut kebiasaan) akan memperbaharui kesedihan (dengan kata lain, si pemilik rumah, yg anggota keluarganya wafat, akan merasa sedih lagi, meskipun tidak mesti menangis). JANGAN SALAH, ini bukan berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
Dari beberapa sumber referensi, aku dapatkan pengertian bahwa : ” beliau (imam Syafi’i) dengan tegas MENGHARAMKAN berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau di sertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
Sementara itu, Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.
Bahkan para ulama/imam empat (Imam Malik, Syafi’i, Hanafi dan Hambali) sepakat dengan melarang hal tersebut (tahlilan). Mereka berempat tidak berselisih/berbeda pendapat tentang larangan hal tersebut melainkan dalam masalah tingkatannya, haram atau makruh saja. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bolehnya tahlilan. Bahkan para sahabat g menggolongkan hal tersebut sebagai niyahah/ratapan terhadap si mayit. Dan ulama telah sepakatkan keharaman niyahah.
Dengan demikian, TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAM…melainkan adopsi dari agama Hindu. Aku yakin para Wali Sanga mempunyai alasan tertentu mengapa beliau2 tidak menghapus budaya ini. Salah satu alasan yg aku ketahui adalah untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Sebagaimana diketahui, masyarakat Indonesia (terutama Jawa) sangat mencintai budayanya (bahkan cintanya berlebihan).
Terima kasih penjelasan pak habib. Semoga dakwah MR selalu dijayakan Allah swt sampai akhir zaman. Amien. Mohon doa yaa habibana. |
| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanya |
munzir
|
Re:al umm ttg tahlilan – 2008/11/28 03:35Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Anugerah dan Cahaya Rahmat Nya semoga selalu menerangi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
ini yg tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit2, tapi disebut perkumpulan Duka,
namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena Ma'tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg Ma'tam yg dimasa Jahiliyah,
karena jika Ma'tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya.
kalimat "benci/membenci" pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adala "Kariha/yakrahu/Karhan" yg berarti Makruh.,
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
sang penulis menyelewengkan ucapan Imam Syafii yg mengatakan bahwa hal itu Makruh, justru Imam syafii tidak menjatuhkan hukum haram, karena jika haram maka beliau tak akan menyebut membenci, tapi haram secara mutlak,
sebab dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
maka jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafii itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
karena menurut kaidah ushul bahwa semua imam dan ulama dan siapapun, tak berhak memberi pendapat pada suatu hukum dg perasaan, tapi mereka jika berhadapan dg hukum mestilah fatwa syariah yg disampaikan, bukan perasaan benci, senang dll, karena hal itu bukan dalil.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a'lam
mengenai masalah tahlil dlsb sudah saya jawab di web ini berikut saya copy paste kan untuk anda.
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Berkata Al Hafidh Al Imam Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yg dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan Jamuan, hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yg menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yg ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid;ah buruk yg makruh.., bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram,
Entahlah para wahabi itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dam hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yg dangkal dalam pemahaman syariahnya,
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang orang wahabi menafsirkan kaliamt “makruh”adalah hal yg dibenci, tentu mereka salah besar, karena imam imam ini berbicara hukum syariah bukan bicara dicintai atau dibenci.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan.
Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.
didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,
Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat Bid’ah terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),
maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid;ah dalam ta;rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi,
bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan yg makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid;ah yg mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).
Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah buruk (munkarah) yg makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun Bid;ah buruk yg makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.
Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),
Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah.
Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215)
(disini hukumnya berubah, yg asalnya makruh, menjadi Mubah bahkan hal yg mulia, karena tamu yg berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu,
Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya, Bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :
dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang orang” (AL Hafidh Al Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 no.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)
dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanad nya Kuat
mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yg membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy no.998 dg sanad hasan, dan di Shahih kan oleh Imam Hakim Juz 1/372)
demikian pula riwayat shahih dibawah ini ;
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد ، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس ! إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketikan hidangan hidangan ditaruhkan, orang orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yg mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang orang pun mengulurkan tangannya masing masing dan makan.
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
2. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,
3. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.
4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.
5. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yg akan saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan tuk menjamu tamunya jika ia wafat
6. boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau ketring untuk menyambut tamu tamu, karena pelarangan akan hal itulah yg akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.
7. makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka
namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.
MENGIRIM PAHALA DAN BACA'AN KEPADA MAYIT
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yg mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka :
Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.
kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari,
bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii, maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.
demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh Buku buku, namun acuan utama adalah pada guru yg mempunyai sanad.
jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi bertawassul pada nabi saw, Imam nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada nabi Muhammad saw,
Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar besar kejahatan muslimin pada muslimin lainnya, adalah yg bertanya tentang hal yg tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena ia mempermasalahkannya” (shahih Muslim hadits no.2358)
|
Nabi memiliki beberapa anak, yang anak laki2 semua meninggal sewaktu masih kecil. Anak-anak perempuan beliau ada 4 termasuk Fatimah, hidup sampai dewasa. Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg meninggal tidak satupun mengadakan RITUAL 3,7,40,100 HARI,, kl di do’akan sudah pasti, karena mendo’akan orang tua, mendo’akan anak, mendo’akan sesama muslim amalan yg sangat mulia. Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg mengadakan RITUAL 3,7,40,100 HARI, untuk NABI, Fatimah tdk mengadakan RITUAL 3,7,40,100 HARI,, padahal Fatimah putrinya yg paling dicintai Nabi.. Apakah Fatimah durhaka..??? Apakah Nabi dianggap HEWAN..???? (kata sdr sebelah) Para sahabat Utama masih lengkap.., masih hidup.. ABU BAKAR adalah… Read more »
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh
@gusjan terimakasih atas kunjunganya dan uneknya2 saya berikan satu sumber lagi untuk masalah tahlilan yang telah dijawab oleh saya punya Guru Habibana Munzir AL Musawah klik
dan masalah sholat yah memang diperlukan orang – orang seperti anda yang berjiwa bersih dan murni membimbing masyarakat diluar sanah yang menurut anda sebelumnya kurang tepat dalam melakukan sholat agar dapat lebih baik lagi mereka melakukan sholat,
pastinya tidak hanya hal kecil yang dipermasalahkan seperti itu, tapi yang tidak sholat juga perlu dipandu dan dikritik / diinggatkan saya yakin anda bisa.
wassalamualaikum